Thursday, October 13, 2011

MATERI TIK KELAS X XI XII

http://www.4shared.com/account/dir/RlQDH1Mw/_online.html#dir=118048894 KLIK SAJA LINK DI ATAS INI, KEMUDIAN KALIAN BISA AMBIL....SELAMAT BELAJAR... SEMOGA SUKSES

[+/-] Selengkapnya...

Sunday, September 6, 2009

Kiat Khusyu' Dalam Shalat

Fauzan Ahmad az-Zumari 30 Oktober 2004
Ada beberapa kiat khusyu' dalam shalat yang kerap kali disinggung oleh para
ulama dalam buku-buku mereka khususnya yang berkenaan dengan hukum dan
tata cara shalat. Berikut kami sampaikan tulisan yang dikutip dan diramu dari
buku "Kaifa Naksya'u Ash-Shalah"- oleh Fauzan Ahmad az-Zumari - cetakan
Darul Basyair al-Islamiyah - Beirut - Libanon.
Vitalitas shalat di antara sekian banyak ragam ibadah adalah aksioma yang
sudah mengakar dalam aqidah dan keyakinan seorang mukmin. Betapa tidak?
Allah berfirman tentang shalat dua kali, dalam deretan syarat keberuntungan
mukmin di hadapan Allah yaitu pada awalnya:
"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman; Yaitu orang-orang
yang khusu' dalam shalatnya..." sampai akhir ayat: " ...Yaitu
orangorang yang selalu melihara shalat-shalat mereka...' (al-
Mukminun: 1-9) selegkapnya...

Firman Allah yang artinya:
"Kemudian, Allah menganugerahkan bagi mereka Jannah Firdaus nan
abadi." (al-Mukminun: 10)
Dengan shalat, pribadi mukmin dapat menggapai puncak kebahagian tertinggi,
sebagaimana tersebut di atas; dan jika serampangan menunaikannya, seorang
mukmin juga bisa terperosok ke jurang Wail di Narr Jahannam. Allah berfirman:
Disalin dari majalah As-Sunnah 07/III/1424H hal 38 - 44.
1. "Maka Narr Wail bagi mereka yang shalat; yaitu orang-orang yang
melalaikan shalatnya itu.." (al-Ma'un: 3-4)
Melalui shalat, seorang mukmin dapat mengentaskan tabi'at buruk manusia yang
tak mau susah, tapi juga tak tahu di untung. Allah berfirman:
"Sesunguhnya manusia diciptakan dalam keadaan keluh kesah lagi
kikir; apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah; dan pabila
ia mendapat kebaikan ia amat kikir; melainkan orang-orang yang
shalat.' (al-Ma'arij: 19-21)
Shalat adalah media efektif untuk mengerem manusia dari berbagai perbuatan
maksiat dan kemungkaran:
Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu (dapat) mencegah
perbuatan keji dan mungkar. (al-Ankabut: 45)
Sebagai makhluk sosial, manusia juga pasti dilingkungi oleh komunitas hidup
yang akrab dengan beragam problematika. Ketabahan jiwa menghadapi berbagai
persoalan menjadi senjata ampuh menuju kebahagiaan hidup; pamungkas nya?
Bagi seorang mukmin, tentu saja hubungan yang menyeluruh dan berkwalitas
dengan Sang Maha pencipta, yang tak lain adalah shalat:
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
(al-Baqarah: 153)
Gelombang kehidupan yang terkadang bergolak amat keras juga seringkali
mengombangambingkan seorang mukmin antara ketaatan dan kemaksiatan.
Kitabullah sebagai pegangan, haruslah kita pelihara dengan sekuat tenaga.
Salah satu di antara kiat jitu melanggengkan sikap konsistensi kita berpegang
kapada hukum ilahi adalah dengan memperbaiki kualitas shalat:
"Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Kitab (Taurat)
serta mendirikan shalat, (akan Kami beri pahala) karena
sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang mengadakan perbaikan." (al-A'raf: 170)

2. Oleh sebab itu, di antara hal paling penting dari perintah Allah yang harus
disosialisakan dalam keluarga adalah juga, shalat. Melalaikan shalat adalah
malapetaka. Sebaliknya, menyibukkan diri dengan ibadah tak akan membikin
manusia celaka, sengsara atapun merana.
"Dan perintahkanlah kepada keluarga kamu untuk mendirikan shalat
dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak
meminta dari kamu rezki. Kamilah yang akan memberimu
rezki. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang
bertakwa." (ath-Thaha: 132). Hanya saja, tak sembarang orang mukmin mampu dengan mudah mengabadikan amalan shalat, apalagi dalam ujud yang sempurna rukun dan syaratnya, ditambah sejumlah sunnah-sunnah yang juga terdapat dalam shalat. Kemudahan itu hanya milik mereka yang mampu tampil khusyu' dalam shalatnya. Dalam hal itu, Allah sudah menegaskan: "Dan sesungguhnya yang demikian itu (shalat) amatlah berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'" (al-Baqarah: 45) Celakanya, kebanyakan kaum Muslimin sering menjadi pelanggan shalat yang kerap alpa, dan lalai melakukannya. Itu sudah menjadi ketentuan ilahi yang akan berlaku, dan akan diperbuat oleh satu generasi di akhir jaman. "Maka datanglah sesudah mereka generasi yang jelek yang menyia-
nyiakan shalat dan memper turutkan hawa nafsunya; maka mereka
kelak akan menemui kesesatan." (Maryam: 59) Padahal, shalat adalah amalan yang paling utama, yang pertama kali akan dihisab dari seorang hamba di hari akhir nanti. Bahkan Rasulullah menjadikannya sebagai wasiat akhir sebelum kematian beliau. Beliau bersabda: "Allah, Allah, (Wahai kaum Muslimin) pelihara lah shalat, peliharalah shalat dan bertakwalah kepada Allah, serta peliharalah
para hamba sahaya yang menjadi milikmu." Diriwayatkan oleh Abu Dawud: 5156, Ibnu Majah: 2689, Ahmad: 1/78 dan al-Baihaqi: VIII/11, dari hadits Ali 414.

3. Demikianlah keagungan nilai shalat, dan demikian sebagian di antara ratusan
dalil yang berbicara tentang keutamaan shalat. Dengan itu, kita dapat menilai
realita yang ada di kalangan kita kaum Muslimin: Yaitu realita menganggap
shalat hanya sebagai rutinitas hidup, instrumen pelengkap dalam putaran roda
kehidupan, yang tak lagi memiliki ruh, kualitas dan kemuliaan yang seharusnya
melekat pada ibadah shalat tersebut.
Shalat sudah dianggap melelahkan, terlalu menguras waktu (entah waktu yang
bagaimana), dan terkesan membosankan. Dan satu hal yang lumrah jika persepsi itu memasyarakat, karena kaum Muslimin kecuali yang mendapat rahmat Allah sudah kehilangan miliknya yang paling berharga dalam menjalankan shalat, yaitu: kekhusyu'an. Nabi bersabda:
"Sesungguhnya karunia pertama yang dicabut Allah dari para hamba-
Nya adalah kekhusyu'an dalam shalat."
Oleh sebab itu, sedapat mungkin kita berupaya memperoleh kembali (kalau sungguh telah hilang dari kita) kekhusyu'-an dalam shalat yang menjadi ciri mereka yang meyakini hari kebangkitan; berusaha membiasakannya dalam diri kita, bahkan mencari cara dalam ajaran As-Sunnah yang dapat menguak jalan ke arah itu.

Definisi Dan Pengertian Khusyu'
1.1 Secara Bahasa
Secara bahasa, kata khusyu' memiliki beberapa arti yang sama:

I. Tunduk, pasrah, merendah atau diam.
Artinya mirip dengan kata khudhu'. Hanya saja kata khudhu' lebih sering
digunakan untuk anggota badan, sedangkan khusyu' untuk kondisi dan
gerak-gerik hati.
A. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam "Khalqu Af'ali al-'Ibad" hal. 62, Ath-Thabrani dalam "Al-Mu'jam Al-Kabir": 7183, An-Nasa'i dalam "As-Sunan al-Kubra": 5909 dan lain-lain dari Syaddad, bin `Aus.
B. Lihat Mu'jamu Maqasiyisi al-Lughah: II/152, Bashairu dzawi At-Tamyiz: II/541-543, Tafsir al-Baghwi: III/ 301, Tafsir Abi As-Su'ud: V1/123 dan Fathul Bari: II/225.

II. Bisa juga berarti rendah perlahan, biasanya digunakan untuk suara.
Allah berfirman: "Dan (khusyu') merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar melainkan bisikan saja." (Ath-Thaha: 108)

III. Arti khusyu' juga bisa diam, tak bergerak.
Allah berfirman yang artinya: "Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, kamu lihat bumi itu diam tak bergerak (ada juga yang mengatakan: tandus-Pent),
dan apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur." (Al-Fusshilat: 39)

1.2 Menurut Istilah
Khusyu' artinya: kelembutan hati, ketenangan sanubari yang berfungsi
menghindari keinginan keji yang berpangkal dari memperturutkan hawa
nafsu hewani, serta kepasrahan di hadapan ilahi yang dapat melenyapkan
keangkuhan, kesombongan dan sikap tinggi hati.
Dengan itu, seorang hamba akan menghadap Allah dengan sepenuh hati.
Ia hanya bergerak sesuai petunjuk-Nya, dan hanya diam juga sesuai dengan
kehendak-Nya. Adapun pengertian khusyu' di dalam shalat:
kondisi hati yang penuh dengan ketakutan, mawas diri dan tunduk
pasrah di hadapan keagungan Allah. Kemudian semua itu membekas
dalam gerak-gerik anggota badan yang penuh hikmat dan konsentrasi
dalam shalat, bila perlu menangis dan memelas kepada Allah;
sehingga tak memperdulikan hal lain. Pengertian kusyu' tersebut diambil dari firman Allah sebagaimana tersebut sebelumnya:
Lihat "Al-Khusyu' Ash-Shalah" oleh Ibnu Rajab al-Hambali.
Lihat Al-Khusyu' karya Al-Hilali."..yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.." (Al-Mukminun: 1-2).
Mengenai makna kekhusyu'an itu, Ibnu Abba's menandaskan: "Artinya penuh
takut dan khidmad." Al-Mujahid menyatakan: "Tenang dan tunduk." Sementara
Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan:
"Yang dimaksud dengan kekhusyu'an di situ adalah kekhusu'an hati."
Lain lagi dengan Hasan al-Bashri, beliau berkata:
"Kekhusyu'an mereka itu berawal dari dalam sanubari, lalu terkilas
balik ke pandangan mata mereka sehingga mereka menundukkan
pandangan mereka dalam shalat." Imam Atha' pernah berkata:
"Khusyu' artinya, tak sedikitpun kita mempermainkan salah satu
anggota tubuh kita."
Jadi artinya, kekhusyu'an dalam shalat bukanlah sekedar kemampuan
memaksimalkan konsentrasi sehingga pikiran hanya terfokus dalam shalat.
Namun kekusyu'an lebih merupakan kondisi hati yang penuh rasa takut, pasrah,
tunduk dan sejenisnya; yang membias dalam setiap gerakan shalat menjadi
nampak anggun, khidmat dan tidak serampangan.

C. Kiat Khusyu' Dalam Shalat
Ada beberapa kiat khusyu' dalam shalat yang kerap kali disinggung oleh para
ulama dalam buku-buku mereka khususnya yang berkenaan dengan hukum dan
tata cara shalat. Di antaranya:
1. Mengenal Allah, Menghadirkan, Mengagungkan dan
Takut Kepada-Nya.
Orang yang paling khusyu' dalam shalat adalah orang yang paling bertakwa.
Karena Allah berfirman: "(orang-orang yang khusyu' yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabb mereka, dan bahwa mereka akan
kembali kepada-Nya." (Al-Baqarah: 46). Dalam hal itu Allah juga berfirman:
"Sesungguhnya yang takut (bertakwa) kepada Allah hanyalah para
ulama." (Al-Fathir: 28)

Maksudnya, hanya orang-orang yang berilmu yang tergolong bertakwa kepada Allah. Dan tentunya, hanya merekalah yang digolongkan orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. Yang dimaksud dengan ilmu di sini tentunya ilmu
yang shahih yang membuahkan amalan shalih. Karena itu Al-Hasan al-Bashri
pernah menyatakan: "Ilmu itu ada dua macam: ilmu ungkapan lidah, dan ilmu di sanubari.
Adapun ilmu sanubari, itulah ilmu yang bermanfaat. Sedangkan ilmu ungkapan lidah, adalah hujah Allah atas manusia." Allah berfirman:
"Apakah kamu yang lebih beruntung wahai orang-orang musyrik
ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam, dengan
sujud dan berdiri, sedangkan ia takut akan (adzab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Rabb-nya..." (Az-Zumar: 9). Hendaknya Orang Yang Shalat Menyadari Bahwa Shalat Adalah Perjumpaan, Sekaligus Komunikasi Dirinya Dengan Allah. Hal itu telah diisyaratkan dalam hadits Nabi :
"Apabila seorang di antaramu sedang shalat, sesungguhnya dirinya
sedang berkomunikasi kepada Allah. Maka janganlah ia membuang
ludah ke hadapan muka, atau ke arah kanan; tapi hendaknya ia
membuangnya ke-sebelah kiri, atau di bawah telapak kakinya." Diriwayatkan oleh Al-Bukhari: 531, Muslim: syarah Nawawi: 5/40-41, An-Nasa'i: 1/163,
11/52-53 dan lain-lain.
Imam Nawawi berkata: "Sabda beliau: "… sesungguhnya ia sedang berkomunikasi kepada Rabb-nya...", merupakan isyarat akan pentingnya keiklasan hati, kehadirannya (dalam shalat) dan pengosongannya dari selain
berdzikir kepada Allah... " Jika shalat adalah komunikasi seorang hamba kepada Allah, dan itu sudah disadari oleh orang yang shalat; maka sudah selayaknya hal itu memacu dirinya untuk bersikap khusyu'. Karena diapun sadar, bahwa segala gerak hatinya, apalagi gerak tubuh kasarnya, pasti selalu diperhatikan oleh Allah.

Ikhlash Dalam Melaksanakannya.
Keikhlasan adalah ruh aural. Allah berfirman:
"Yang menjadikan hidup dan mati, agar Dia menguji kamu; siapakah
di antara kamu sekalian yang terbaik amalannya." (al-Mulk: 2)
Berkenaan dengan ayat ini; Fudhail bin Iyyadh pernah menyatakan:
"Yang dimaksudkan dengan yang terbaik amalannya, adalah yang
paling ikhlas dan paling benar." Satu amalan yang dianggap pelakunya sudah ikhlas, bila tak mencocoki ajaran syari'at, tak akan diterima. Demikian juga amalan yang benar sesuai ketentuan, namun tidak ikhlas karena Allah, juga tak ada gunanya. Ikhlas, artinya hanya untuk Allah. Benar, artinya menuruti, Sunnah Rasul . Satu amalan yang dilakukan dengan ikhlas, dengan sendirinya akan mudah meleburkan diri si hamba secara menyeluruh ke dalam ibadah itu sendiri. Karena tak satupun menurut keyakinannya yang pantas menguras perhatian dirinya selain Allah.(Lihat Syarhu Shahih Muslim V/40-41, Lihat Al-Hilyah - oleh Abu Nu'aim: V111/59, Tafsir al-Baghwi: 1V/369, Zadul Masir:1V/79).

Mengkonsentrasikan Diri Hanya Untuk Allah
Dalam shahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
"Seandainya seorang hamba (sesudah berwudhu dengan baik) tegak
melakukan shalat, memuji Allah, menyanjung-Nya, mensucikan diri-Nya yang mana itu memang merupakan hak-Nya, mengkonsentrasikan diri hanya mengingat Allah; maka ia akan keluar dari
shalatnya laksana bayi yang baru dilahirkan." Al-Imam Ibnu Katsir menyatakan:
"Sesungguhnya kekhusyu'an dalam shalat itu hanya dapat dicapai
oleh orang yang mengkonsentrasikan hatinya untuk shalat itu,
disibukkan oleh shalat hingga tak mengurus yang lainnya; sehingga
ia lebih mengutamakan shalat dari amalan yang lain."

Menghindari Berpalingnya Hati Dan Anggota Tubuh
Dari Shalat Aisyah pernah bertutur:
"Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang berpalingnya wajah
di kala shalat, ke arah lain. Beliau menjawab: "Itu adalah hasil curian setan dari shalat seorang hamba."
Ath-Tayyibi menyatakan:
"Dinamakan dengan "hasil curian", menunjukkan betapa buruknya
perbuatan itu. karena orang yang shalat itu tengah menghadap Allah,
namun setan mengintai dan mencuri kesempatan. Apabila ia lengah,
setan langsung beraksi!
Diriwayatkan oleh Muslim: 832 dan Ahmad: IV/ 112-385, dari hadits Amru bin Abasah.Diriwayatkan oleh Al-Bukhari: 571, Abu Dawud: 910, Tirmidzi: 589, an-Nasa'i: III/7dan lain-lain.

Imam Ash-Shan'ani menyatakan:
"Sebab dimakruhkannya berpaling tanpa hajat di kala shalat, karena
itu dapat mengurangi kekhusu'an, dan dapat juga menyebabkan
sebagian anggota badan berpaling dari kiblat. Juga karena shalat
itu adalah menghadap Allah.

Merenungi Setiap Gerakan Dan Dzikir-Dzikir Dalam Shalat
Imam Ibnul Qayyim pernah menyatakan:
"Ada satu hal yang ajaib, yang dapat diperoleh oleh orang yang
merenungi makna-makna Al-Qur'an. Yaitu keajaiban-keajaiban
Asma dan Sifat Allah. Itu terjadi, tatkala orang tadi menuangkan
segala curahan iman dalam hatinya, sehingga ia dapat memahami
bahwa setiap Asma dan Sifat Allah itu memiliki tempat (bukan
dibaca) di setiap gerakan shalat.
Artinya bersesuaian. Tatkala ia tegak berdiri, ia dapat menyadari
ke-Maha Terjagaan Allah, dan apabila ia bertakbir, ia ingat akan
ke-Maha Agung-an Allah."

Memelihara Tuma'ninah (Ketenangan), Dan Tidak
Terburu-buru Dalam Shalat
Allah berfirman: "Dan apabila kamu sudah tenang, maka dirikanlah shalat..." (An- Nisa': 103)
Ayat di atas jelas mengisyaratkan bahwa ketenangan, adalah faktor vital dalam
shalat yang harus diperhatikan. Sehingga "keharusan" shalat bagi seorang
mukmin di saat-saat berperang dengan orang-orang kafir, dilakukan kala ia sudah kembali tenang. (Lihat Subulu as-Salam I/ 309-310, Lihat Ash-Shalah karya Ibnul Qayyim).

Hal ini juga terpahami jelas dari hadits tentang "Shalat orang yang asal-
asalan", yang lalu dikoreksi oleh Nabi. Bahkan orang itu disuruh mengurangi
shalatnya dengan sabda beliau, yang artinya: "...dan ruku'lah sehingga kamu tuma'ninah dalam ruku' itu. Lalu tegaklah berdiri sampai kamu tuma'ninah dalam berdiri...dst"

Semangat Dalam Melakukannya
Ini satu hal yang lumrah. Karena tatkala seseorang shalat dengan seenaknya,
malas dan tidak bersemangat; jelas tak akan dapat diharapkan kehusyu'annya.
Oleh sebab itu, dalam hadits yang diceritakan Anas bin Malik disebutkan bahwa
Rasulullah pernah memasuki masjid. Tiba-tiba beliau melihat ada tali yang
direntangkan antara dua tiang masjid tersebut.
Beliau lantas bertanya: "Untuk apa tali ini?" Para shahabat menjawab: "Itu punyanya Zainab. Kalau dia lagi lemas waktu shalat, itu dijadikan tempat berpegangan." maka beliau bersabda, yang artinya: "Lepaskan tali itu. setiap kamu itu hendaknya shalat dengan bersemangat. Kalau dia memang merasa capek, ya istirahat dulu." Rasulullah juga pernah bersabda, "Apabila salah seorang di antara kamu mengantuk, sedangkan ia tengah melakukan shalat; hendaknya ia tidur terlebih dahulu sehinga hilang rasa mengantuknya. Karena kalau ia shalat terus, jangan jangan, ia ingin beristighfar malah mencaci dirinya sendiri" . Berkenaan dengan hal itu, Imam An-Nawawi pernah menyatakan:
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari: 757, 793, 6251 dan lain-lain, Muslim: 397, Abu Dawud: 956 dan yang lainnya. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari: 1150, Muslim: 784 dan lain-lain. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari: 212, Muslim: 786, Abu Dawud: 1310, At-Tirmidzi: 388, an-Nasa'i: 11215-216, Ibnu Majah: 1370, Ahmad: VI/ 56, 202, 259, ad-Darimi: 1373 dan Malik dalam Al-Muwattha': 31/118, dari hadits Aisyah.)
11. "Hadits tersebut mengandung anjuran agar seorang hamba itu shalat
dengan konsentrasi penuh, khusyu', terfokus pikirannya kepada Allah
dan dengan semangat. Hadits tersebut juga menyuruh orang yang
mengantuk selagi shalat itu untuk tidur dulu, atau melakukan hal
lain yang dapat menghilangkan rasa kantuknya." Dalam hal ini, nampak sekali kesalahan sebagian kaum Muslimin yang menganggap shalat yang khusyu' itu cenderung harus dilakukan dengan lemah gemulai dan tak bertenaga. Kalau kita tilik kembali tata cara shalat yang diajarkan Nabi akan kita dapati bahwa seluruh gerakan shalat secara kolektif ternyata harus dilakukan dengan bersemangat, bukan dengan melemas-lemaskan tubuh.
Ambil contoh misalnya: ruku'. Di saat melakukan ruku', orang yang shalat
diperintahkan untuk meluruskan punggung. Namun disamping itu ia juga
diperintahkan untuk membengkokkan sedikit kedua tangannya. Konsekuensinya,
ia harus melakukan gerakan itu dengan perhatian penuh.
Contoh lain, kala bersujud. Di saat bersujud, seorang mukmin harus
meluruskan punggungnya, meluruskan pahanya, meletakkan dengan tepat tujuh
anggota sujud, menekankan kening ke bumi, bertumpu pada kedua belah telapak tangan, merapatkan kedua telapak kaki, mengarahkan dengan penuh jari-jari kaki kearah kiblat, merenggangkan kedua lengan, menjauhkan perut dengan bumi; disamping juga berdzikir, memanjangkan sujud dan lain-lain. Semuanya itu, tak syah lagi, hanya bisa dilakukan dengan penuh perhatian dan semangat yang tinggi.

Memilih Tempat Shalat Yang Sesuai
Artinya yang memenuhi syarat agar bisa membuat shalat kita menjadi khusyu'.
Tempat tadi paling tidak harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
1. Tenang, dan jauh dari keributan yang ditimbulkan mungkin oleh
penuh sesaknya orang-orang yang shalat, sehingga membikin suara yang
mengganggu. Sesungguhnya Nabi pernah marah ketika dalam shalat beliau
mendengar suara ribut di belakangnnya.(Lihat Syarhu an-Nawawi VI/74).

2. Hadirnya para malaikat. Artinya, kita menghindari hal-hal/sesuatu yang
menghalangi malaikat (rahmat) untuk memasuki tempat kita menunaikan
shalat. misalnya, lukisan benda bernyawa, atau anjing. Karena Nabi
bersabda: "Para malaikat tidak akan memasuki satu rumah yang
didalamnya ada lukisan benda bernyawa, atau anjing." Imam al-Khitabi menjelaskan: "Yang dimaksud di situ adalah para malaikat yang datang membawa rahmat dan berkah, bukan para malaikat yang mencatat amalan
seorang hamba. Karena mereka (yang kedua) itu tak pernah berpisah
dengan manusia." Di antaranya lagi, suara- suara musik. Juga termasuk di antaranya suara bell lonceng. Karena Nabi pernah bersabda: "Sesungguhnya lonceng itu adalah seruling-seruling setan."

Menghindari Segala Yang Menyibukkan Dan Mengganggu Sahalat
Termasuk dalam lingkaran larangan itu, shalat di kala makanan sudah
dihidangkan; atau shalat di kala sedang menahan buang air kecil atau besar.
Nabi bersabda yang artinya: Janganlah salah seorang di antara kamu shalat, kala makanan dihidangkan, atau kala menahan buang air." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari: 4225, 3322, 4002, 5949, Muslim: 2106, Tirmidzi: 2804,
an-Nasa'i: 7/185-186, dan yang lainnya). (Lihat "Hasyiah as-Sindi `ala Ibnu Majah": 11/386. Diriwayatkan oleh Imam Muslim: 2114, an-Nasa'i dalam as-Sunan al-Kubra: 8812, Abu Dawud: 2556, Ahmad, dalam Musnadnya: 11/366-3720, al-Baihaqi dalam "as-Sunan al-Kubra": 5/253. Diriwayatkan oleh Muslim: 560, Ibnu Hibban: 195 dan al-Baghwi dalam "Syarhu as-Sunnah": 801.
Diriwayatkan dalam hadits al-Bukhari dan Muslim: 558, bahwasanya Ibnu
Umar pernah dihidangi makanan; saat itu adzan berkumandang, namun beliau
terus saja makan sampai selesai. Padahal beliau sudah mendengar suara bacaan
imam. Di antaranya yang lain: shalat di bawah terik matahari. 'Dalam hal ini
Rasulullah pernah bersabda, yang artinya:
"Apabila matahari bersinar terik / panas sekali, tundalah waktu shalat hingga cuaca dingin. Karena sesungguhnya panas yang terik itu berasal dari uap Narr Jahannam." Yang lainnya lagi: memandang (ketika shalat) sesuatu yang merusak konsentrasi. Dari Anas diceritakan, bahwa Aisyah memiliki kain korden berhias yang menutupi sebagian tembok rumahnya. Maka Rasulullah bersabda: "Singkirkan korden itu, Sesungguhnya gambar-gambarnya itu terus
terbayang dalam diriku di waktu shalat." Imam Ash-Shan'ani berkomentar:
"Sesungguhnya hadits itu mengandung larangan terhadap segala hal
yang dapat mengganggu shalat. Baik itu ukiran-ukiran, hiasan-hiasan
dan lain-lain.

Memanjangkan Bacaan
Memanjangkan bacaan surat dalam shalat, seringkali membantu proses kekhusyu'an, terutama bagi yang mengerti kandungan makna bacaan itu, atau
bagi orang yang dianugerahi Allah kelembutan jiwa. Rasulullah pernah ditanya: "Shalat bagaimana yang paling utama?" Beliau menjawab: "Yang panjang qunut/kekhusu'an nya." Imam Ibnul `Arabi menyatakan: "Aku mencoba menyelidiki sumber-sumber kekhusyu'an; lalu kudapati ada sepuluh perkara: HR. Al-Bukhari: 374 dan Ahmad: III/151 - 283.22HR. Muslim: 756, Tirmidzi: 387, Ibnu Majah: 1421 dan al-Baghwi dalam Syarhu as Sunnah: 559-560.

Ketaa'atan, ibadah, kesinambungan melakukan amal shalih, shalat,
bangun malam, berdiri panjang (dalam shalat), berdoa, ketundukan,
diam tenang, dan tidak menoleh-noleh. Kesemuanya adalah alternatif
yang saling terkait. Namun yang paling berpengaruh adalah: ketundukan, berdiam diri dan bangun malam."

Hendaknya kita shalat, seperti shalatnya orang yang akan bepergian jauh (meninggalkan alam fana) Rasulullah pernah menegaskan: "Apabila engkau melakukan shalat, maka shalatlah kamu, dengan shalatnya orang yang akan meninggalkan alam fana...". Yang dimaksud, agar kita shalat dengan shalatnya orang yang rindu untuk berjumpa Allah. Bukan shalatnya orang yang gila dunia, yang menjadikan dunia dan segala kesibukannya sebagai bayangan yang selalu terukir dalam benak. Masih ada juga beberapa kiat khusyu' lainnya dalam shalat. Cukup dikutip sebagian di antaranya; sekedar untuk memacu diri kita agar memperbaiki kualitas shalat kita. Menghiasi dan menyempurnakannya dengan kekhusyu'an; sehingga pada akhirnya, akan menjadikan kita sebagai mukmin yang penuh keberuntungan, dunia dan akhirat. Lalu, kita berdoa kepada Allah agar kita dijauhkan dari mereka yang disebutkan dalam firman Allah:
"Maka sungguh satu kecelakan yang besar bagi meraka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata:" (az-Zumar: 22) (Lihat "Al-'Aridhah". Dikeluarkan oleh Ibnu Majah: 4171, Ahmad: 5/412 dan dihasankan oleh al-Albani dalam" Shahih aljami' ash-Shaghir": 1/265).

[+/-] Selengkapnya...

Fiqih Ringkas Tentang Puasa


Shaum atau puasa secara bahasa bermakna al-imsak atau menahan diri dari sesuatu seperti menahan diri dari makan atau berbicara. Makna shaum seperti ini dipakai dalam ayat ke-26 surat Maryam. “Maka makan dan minumlah kamu, wahai Maryam, dan tenangkanlah hatimu; dan jika kamu bertemu seseorang, maka katakanlah saya sedang berpuasa dan tidak mau berbicara dengan siapapun.”

Sedangkan secara istilah, shaum adalah menahan dari dari dua jalan syahwat, mulut dan kemaluan, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan pahala puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.

Keutamaan Bulan Ramadhan

Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah saw. bersabda, “Penghulunya bulan adalah bulan Ramadhan dan penghulunya hari adalah hari Jum’at.” (Thabrani)

Rasulullah saw. bersabda, ” Kalau saja manusia tahu apa yang terdapat pada bulan Ramadhan, pastilah mereka berharap Ramadhan itu selama satu tahun.” (Thabrani, Ibnu Khuzaimah, dan Baihaqi)

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Apabila datang bulan puasa, dibuka pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka.” (Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Apabila datang malam pertama bulan Ramadhan, para setan dan jin kafir akan dibelenggu. Semua pintu neraka ditutup sehingga tidak ada satu pintu pun yang terbuka; dan dibuka pintu-pintu surga sehingga tidak ada satu pun yang tertutup. Lalu terdengara suara seruan, “Wahai pencari kebaikan, datanglah! Wahai pencari kejahatan, kurangkanlah. Pada malam itu ada orang-orang yang dibebaskan dari neraka. Dan yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Keutamaan Puasa Ramadhan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan penuh harap, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang shalat malam pada bulan puasa, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Bukhari dan Muslim)

Waktu Berpuasa

Ibadah puasa dimulai sejak masuknya fajar shadiq (waktu shalat Subuh) hingga terbenamnya matahari (masuk waktu shalat Maghrib). Allah menerangkan di dalam al-Qur’an dengan istilah benang putih dari benang hitam.

Doa Berbuka Puasa

Jika berbuka puasa, Rasullullah saw. membaca, “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.” Artinya, ya Allah, untukmu aku berpuasa dan dengan rezeki yang engkau berikan kami berbuka. Dan Rasulullah saw. berbuka puasa dengan kurma. Jika tidak ada, cukup dengan air putih.

Sunnah-sunnah Dalam Berpuasa

Sebelum berpuasa, disunnahkan mandi besar dari junub, haidh, dan nifas. Bagi orang yang berpuasa, disunnahkan melambatkan makan sahur dan menyegerakan berbuka. Berdo’a sebelum berbuka.

Agar amalan puasa tidak rusak dan pahalanya tidak gugur, orang yang berpuasa disunnahkan menjaga anggota badan dari maksiat, meninggalkan obrolan yang tidak berguna, meninggalkan perkara syubhat dan membangkitkan syahwat.

Disunnahkan memperbanyak tilawah Al-Qur’an, memberi makan orang puasa untuk berbuka, dan memperbanyak sedekah. Di sepuluh hari terakhir, sangat dianjurkan beri’tikaf.Yang Dibolehkan Tidak Berpuasa

1. Orang yang safar (dalam perjalanan). Tapi, ada ulama yang memberi syarat. Seseorang boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan lain, jika safarnya menempuh lebih dari 89 km dan safarnya bukan untuk maksiat serta perjalanannya dimulai sebelum fajar. Namun Imam Hanbali membolehkan berbuka, walaupun safarnya dimulai pada siang hari. Alasan dibolehkannya berbuka adalah karena safar mengandung masyaqqah (kesusahan). Jika seseorang yang safar mengambil rukshah ini, ia wajib mengganti puasanya itu di hari lain sejumlah hari ia tidak berpuasa.

2. Orang yang sedang sakit. Sakit yang masuk dalam kategori ini adalah sakit yang dapat menghambat kelangsungan ibadah puasa dan berdampak pada keselamatan fisik jika dia tetap berpuasa. Untuk memutuskan dan menilainya, diperlukan pendapat dokter. Jika seseorang tidak berpuasa karena sakit, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya di bulan lain ketika ia sudah sehat.

3. Wanita hamil dan ibu yang menyusui. Wanita hamil atau ibu menyusui boleh tidak berpuasa, tapi harus menggantinya di hari lain. Jika dia tidak berpuasa karena takut dengan kondisi dirinya sendiri, maka hanya wajib bayar qadha’ saja. Tapi jika dia takut akan keselamatan janin atau bayinya, maka wajib bayar qadha’ dan fidyah berupa memberi makan sekali untuk satu orang miskin. Hal ini diqiyaskan dengan orang sakit dan dengan orang tua yang uzur.

4. Orang yang lanjut usia. Orang yang sudah lanjut usia dan tidak sanggup puasa lagi tidak wajib puasa, tapi wajib bayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.

5. Orang yang mengalami keletihan dan kehausan yang berlebihan. Jika kondisi itu dikhawatirkan mengganggu keselamatan jiwa dan akal, maka boleh berbuka dan wajib qadha’.

6. Orang yang dipaksa (ikrah) tidak berpuasa. Orang seperti ini boleh berbuka, tapi wajib mengqadha’.

Permasalahan Sekitar Puasa

1. Untuk puasa Ramadhan, wajib memasang niat berpuasa sebelum habis waktu sahur.

2. Saat berpuasa seorang suami boleh mencium isterinya, dengan syarat dapat menahan nafsu dan tidak merangsang syahwat.

3. Orang yang menunda mandi besar (janabah) setelah sahur atau setelah masuk waktu subuh, puasanya tetap sah. Begitu juga dengan orang yang berpuasa dan mendapat mimpi basah di siang hari, puasanya tetap sah.

4. Dilarang suami-istri berhubungan badan di siang hari ketika berpuasa. Hukuman bagi orang yang bersenggama di siang hari pada bulan Ramadhan adalah memerdekakan budak. Jika tidak mampu memerdekakan budak, suami-istri itu dihukum berpuasa dua bulan penuh secaara berturut-turut. Jika tidak mampu juga, mereka dihukum memberi makan 60 orang miskin sekali makan. Kalau perbuatannya berulang pada hari lain, maka hukumannya berlipat. Kecuali, pengulangannya dilakukan di hari yang sama.

5. Orang yang terlupa bahwa ia berpuasa kemudian makan dan minum, maka puasanya tetap sah. Setelah ingat, ia harus melanjutkan puasanya hingga waktu berbuka di hari itu juga.

6. Hanya muntah yang disengaja yang membatalkan puasa. Ada tiga perkara yang tidak membatalkan puasa: bekam, muntah (yang tidak disengaja), dan bermimpi (ihtilam). Sikat gigi atau membersihkan gigi dengan syiwak diperbolehkan. Hal ini biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. Tapi, ada ulama yang memakruhkan menyikat gigi dengan pasta gigi setelah matahari condong ke Barat.

7. Orang yang mempunyai hutang puasa tahun sebelumnya, harus dibayar sebelum masuk Ramadhan yang akan berjalan. Jika belum juga ditunaikan, harus dibayar setelah Ramadhan yang tahun ini. Tapi, ada ulama berpendapat, selain harus diqadha’ juga diwajibkan memberi makan orang miskin.

8. Para ulama sepakat bahwa orang yang wafat dan punya utang puasa yang belum ditunaikan bukan karenakan kelalaian tapi disebabkan ada uzur syar’i seperti sakit atau musafir, tidak ada qadha yang harus ditanggung ahli warisnya. Tapi jika ada kelalaian, ada sebagian ulama mewajibkan qadha terhadap ahli warisnya dan sebagian lain mengatakan tidak.

9. Bagi mereka yang bekerja dengan fisik dan terkategori berat –seperti pekerja peleburan besi, buruh tambang, tukang sidang, atau yang lainnya– jika berpuasa menimbulkan kemudharatan terhadap jiwa mereka, boleh tidak berpuasa. Tapi, wajib mengqadha’. Jumhur ulama mensyaratkan orang-orang yang seperti ini wajib baginya untuk sahur dan berniat puasa, lalu berpuasa di hari itu. Kalau tidak sanggup, baru boleh berbuka. Berbuka menjadi wajib, kalau yakin kondisi ketidak sanggupan itu akan menimbulkan kemudharatan.
Last Updated ( Thursday, 05 June 2008 15:35 )Oleh: Mochamad Bugi (www.dakwatuna.com)
http://www.darussalam-tamanyasminbogor.com/index.php?option=com_content&view=article&id=104:fiqih-ringkas-tentang-puasa&catid=35:artikel&Itemid=109

[+/-] Selengkapnya...

Template by : kendhin x-template.blogspot.com adam maulana 2009