
Mencintai Rasulullah SAW
(Renungan di Bulan Maulid)
Oleh: Warsono
Assalamu alaika, zain al anbiya-i
(Salam bagimu, wahai hiasan para Nabi)
Assalamu alaika, azkal azkiya-i)
(Salam bagimu, Yang Tersuci dari Orang-orang suci)
....
Anta syamsun, anta badrun, anta nurun fauqa nuuri
(Engkau matahari, bulan purnama, cahaya di atas cahaya)
...
Begitu sebagian untaian shalawat dan syair-syair Maulid yang banyak dibaca di Kalteng/Kalsel, sebagai perwujudan cinta dan pujian kepada Nabi k ita Muhammad SAW. Syair-syair di atas adalah gubahan ulama-ulama terdahulu, yang kemudian ditradisikan oleh umat Islam secara turun temurun.
Sebagian orang menyebutnya sebagai bid'ah, kultus individu, dan lain lain sebutan. Karena memang tidak ada dalam Al-Quran maupun hadis secara tersirat. Padahal syair-syair tersebut hanyalah ungkapan shalawat, pujian, salam, dan kerinduan. Sesuatu yang alami, murni dari para peci nta Rasulullah SAW. Cinta memang tidak bisa hanya cu kup disimpan dalam hati tetapi harus diekspresikan dengan ucapan dan perbuatan. Bagi orang awam (seperti saya), sangat terbantu mengekspresikan cinta kita kepada Rasulullah SAW dengan syair-syair maulid ini. Biarlah orang lain mengatakan bid'ah, bagi kita inilah salah satu ungkapan yang bisa kita berikan kepada insan yang paling mulia, paling suci, paling baik, paling kita rindukan, dan paling kita cintai.
Bukankah Allah SWT sendiri dan para malaikat memberikan salaw at, sebagai penghormatan, terlebih dahulu sebelum menyuruh kita mengucapkan salawat? Bukankah Allah SWT juga memuji Muhammad Rasulullah SAW sebagai yang berakhlaq agung (la'ala khuluqin adziem), suri tauladan yang baik (uswatun khasanah), cahaya (nur), rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin), dan yang belas kasih dan penyayang (raufur rahim)?
Tetapi tentu, tidak hanya dengan pujian dan salawat saja semestinya, bukti cinta kita kepada Rasulullah SAW. Ada banyak hal y ang akan menambah kualitas cinta kita kepada Insan Utama i ni. Menurut saya, berikut di antaranya:
1. Menjalankan pesan-pesan dan ajaran Rasulullah SAW.
Ada banyak pesan-pesan Rasulullah sebagai kecintaan Rasul kep ada umatnya, yang terhimpun dalam berbagai hadis Nabi. Tentu bukti kecintaan kita adalah dengan menjalankan pesan-pesan itu. Apal agi pesan-pesan itu adalah hal-hal yang memang akan menyelamatkan dan membahagiakan kita di dunia dan akhirat.
'Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Nabi), maka Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu' (QS 3:31)
2.Merindukan bertemu Rasulullah SAW.
Kalau kita mencintai gadis/pria, tentu kita selalu merindukan nya dan ingin bertemu dengannya. Biarpun jauh, penuh rintangan, tentu akan kita lakukan demi kecintaan kita kepadanya. Begitu juga kecintaan kita kepada Rasul. Kita belum pernah bertemu dengannya, namun kita sudah merasakan nikmat karena mengikuti ajarannya. Alangkah senangnya kita jika suatu saat bertemu dengannya. Tentu, kita akan berupaya sekuat tenaga agar bisa berjumpa dengan Rasul kekasih kita.
Suatu ketika salah seorang sahabat Rasul menyatakan cintanya kepada Rasulullah SAW. Rasul menjawab: 'Anta ma'a man ahbabta' (engkau beserta orang yang engkau cintai).
3. Memperbanyak shalawat dan pujian untuk Nabi SAW
Bertolak dari firman Allah SWT:
'Sesungguhnya Allah dan para Malaikat bershalawat kepada Nabi . Wahai orang-orang beriman, bershalawatlah kepadanya dan ucapkanlah salam ..'
Maka shalawat Nabi banyak diucapkan dimana-mana, paling tidak dalam shalat-shalat kita. Kemudian para ulama menggubah berbagai macam shalawat dan pujian sebagai ungkapan kecintaan kepada Nabi S AW. Shalawat dan pujian inilah yang banyak dibacakan di bul an maulid ini.
4. Mencintai keluarga (ahlul bait) Nabi SAW
Dalam Shahih Muslim, kitab hadis paling valid kedua setelah Bukhari, disebutkan p esan Nabi SAW;
'Aku tinggalkan dua bekal yang berharga (tsaqalain). Pertama adalah Kitabullah, di dalamnya terdapat petunju k dan cahaya. Laksanakanlah Kitabullah itu dan berpega ng teguhlah kepadanya. (Dan berpegang pula) pada Ah lul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang ahlul baitku (3x)'
Dalam hadis lain:
'Aku tinggalkan dua perkara yaitu Kitabullah dan keluargaku, keduanya tidak akan berpisah hingga saat menemui ku di Telaga, maka perhatikanlah sikap kalian terhadap mereka' (HR Ahmad, Nasa i, dan Tirmidzi)
Ibn Hajar: dinamakan tsaqalain karena agungnya derajat keduanya.
Dalam Al-Quran (42:23) disebutkan:
'A ku tidak meminta upah kepadamu atas seruanku, kecuali kecintaan kepada kerabat (al-Qurba)'. Ketika sahabat bertanya, siapakah Al-Qurba ? Rasulullah menjawab: Ahlil baitku
Siapakah Ahlul Bait Nabi SAW?
Nah, disini ada 2 kelompok besar dalam menafsirkannya:
a. Kalangan Ahlus-Sunah
Kalangan Ahlus-Sunah rata-rata memberi makna yang luas dan beragam, mulai dari Ali, Hasan, Husain dan keturunannya, hingga istri-i stri Nabi SAW, keluarga Ja'far, dan Keluarga Abas, serta Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim.
b. Kalangan Syiah
Kalangan syiah (mayoritas) hanya memberi makna Ahlul Bait kepada 12 Imam, yaitu Ali, Hasan, Husain, dan 9 keturunan Husain.
Baik makna sempit atau luas, keduanya bermakna keluarga Nabi. Memang merekalah merupakan salah satu tonggak Islam dal am sejarah. Keluarga Nabi terkenal kesalihannya dan semangat dalam menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Termasuk di Indonesia, penyebar mula-mula Islam di Indonesia adalah keluarga Nabi.
Kepada para ahlil bait Nabi SAW inilah kita bershalawat dalam setiap shalat. 'Allahumma shali 'ala Muhammad, wa aali Muhammad...'. Kepada mereka pula kita seharusnya ci nta, hormat, dan mengikuti ajaran-ajarannya. Tidak perlu takut kita mengungkapkan kecintaan kepada ahlul bait Nabi, karena itu pesan Rasulullah SAW. Sehingga Imam Syafi'i berujar, 'Jika mencintai Ahl ul Bait disebut Rafidi (Syiah), ketahuilah bahwa saya seorang Rafidi'.
5. Menjaga nama baik Nabi SAW dan umatnya.
Kalau kita mencintai seseorang tentu kita tidak rela jika ora ng tersebut dicaci atau dijelek-jelekkan. Tetapi yang lebih tinggi lagi, kita berusaha menjaga nama baik dengan menjadi t eladan yang baik, sehingga kita ikut membawa nama baik orang yang kita cintai.
Begitu juga kita, tentu harus membela Nabi SAW, jika ada oran g yang mencela Beliau. Namun ada yang lebih tinggi, yai tu menunjukkan kepada dunia bahwa umat Muhammad adalah umat yang mulia, berwib awa dan terhormat. Kalaupun tidak seperti umat Islam terdahulu, minimal tidak menjadi umat yang membawa nama buruk Nabi kita apalagi jika memalukan nama Beliau.
Kita tahu umat Islam terdahulu mampu merubah dari bangsa yang dilihat pun tidak oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang berdiri tegak, beradab bahkan menjadi puncak peradaban saat itu. Kini kita mendapati umat Rasulullah tidak dalam posisi mulia. Bangsa mayoritas muslim saat ini identik dengan bangsa miskin, bodoh, t idak tertib, dan yang paling memalukan... bangsa yang paling korup. Dari data statistik, 90% orang miskin ada di Asia & Afrik a, banyak -kalau tidak kebanyakan- dari mereka adalah Muslim.
Padahal umat Islam terdahulu dikenal karena bersemangat baja, tertib, menjaga kehormatan, membela orang-orang lemah dan miskin, menjunjung tinggi ilmu dan menjaga kesucian diri dan harta. Kini harus kita akui bahwa kita harus belajar dari bangsa-bangsa lain, dan terutama nilai-nilai dasar kita dan contoh orang-orang terdahulu yang telah membawa nama baik umat Muhammad SAW.
Kita tentu senang dan bangga, jika Michael H Hart dalam buku yang terkenal menjadikan Nabi Muhammad SAW dalam urutan teratas daftar orang-ora ng yang paling berpengaruh dalam sejarah. Namun kita malu mendapati ban gsa-bangsa muslim terbesar seperti Indonesia, Pakistan, Ban glades adalah diantara bangsa-bangsa paling korup di dunia.
Kita tahu Rasulullah SAW adalah orang yang sangat cinta dan concern dengan umatnya, sehingga digambarkan Allah SWT:
'Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaum k alian sendiri. Ia merasakan beratnya penderitaan kalian, sangat mendambakan (keimanan dan keselamatan) kalian, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang beriman' (QS 9:128)
Begitu cintanya Rasul terhadap umatnya sehingga konon diantara ucapan terakhir bel iau adalah 'umatku... umatku..'. Entah bagaimana wajah kita jika ketemu Rasulullah, dan melaporkan 'Ya Rasulullah, kini umatmu sangat banyak, nomor 2 di dunia, lebih dari 800 juta. Ne gara terbesar umatmu adalah Indonesia, lebih dari 180 juta Muslim... Hanya saja, maafkan ya Rasulullah, bangsa ini banyak yang miskin, bodoh, tidak tertib, dan termasuk paling korup di dunia.....'. Entah baga imana pula, perasaan Rasulullah Mulia mendengar ini....
Khatimah
Di bulan Maulid yang mulia ini, marilah kita perdalam kecintaan kita kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu Alaihi Wa aalihi wa sal am. Minimal dengan mendendangkan lagi shalawat di rumah-rumah kit a, bukan hanya musik-musik dangdut atau Peterpan. Berikut shalawat yang dulu sering kami senandungkan di langgar-langgar (di Jawa) sebagai puji-pujian. Seiring gerakan modernisme, puji-pujian mulai jarang terdengar...
Allahumma shali wa salim 'alaa sayidina wa maulana Muhammadin. Adada maa bi 'ilmillahi shalatan daimatan bi dawamim mulkillahi...
(Ya Allah sampaikan salawat dan salam untuk junjungan kami Muhammad (dan keluarganya), shalawat sebanyak ilmu Allah, selamanya dengan keabadian kerajaan Allah.)
Mudah-mudahan dengan pernyataan cinta kita kepada Rasulullah SAW ini. Rasulullah menyahut : 'Engkau beserta orang yang engkau cintai'.
Amien... Ya Mujibas Sa ilin
Mungkin renungan di bawah inilah yang seharusnya kita pikirkan
ketika memperingati Maulid Nabi SAW...
------------------------------
Makna Hakiki Maulid Nabi SAW
[majalah al-wa'ie, Edisi 56]
Kelahiran seorang manusia sebetulnya merupakan perkara yang biasa
saja. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit
dunia ini tidak henti-hentinya menyambut kelahiran bayi-bayi manusia
yang baru. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa
dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa.
Karena itulah, barangkali, Nabi kita, Rasulullah Muhammad Saw tidak
menjadikan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa, atau
sebagai hari yang setiap tahunnya harus diperingati. Keluarga
beliau, baik pada masa Jahiliah maupun pada masa Islam, juga tidak
pernah memperingatinya, padahal beliau adalah orang yang sangat
dicintai oleh keluarganya. Mengapa? Sebab, dalam tradisi masyarakat
Arab, baik pada zaman Jahiliah maupun zaman Islam, peringatan atas
hari kelahiran seseorang tidak pernah dikenal.
Bagaimana dengan para sahabat beliau? Kita tahu, tidak ada seorang
pun yang cintanya kepada Nabi Muhammad Saw melebihi kecintaan para
sahabat kepada beliau. Dengan kata lain, di dunia ini, para
sahabatlah yang paling mencintai Nabi Muhammad Saw. Namun demikian,
peringatan atas kelahiran (maulid) Nabi Muhammad Saw juga tidak
pernah dilakukan para sahabat beliau itu; meskipun dengan alasan
untuk mengagungkan beliau. Wajar jika dalam Sirah Nabi Saw dan dalam
sejarah otentik para sahabat beliau, sangat sulit ditemukan fragmen
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, baik yang dilakukan oleh Nabi
Saw sendiri maupun oleh para sahabat beliau.
Bahkan ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab bermusyawarah mengenai
sesuai yang sangat penting dengan para sahabat, yakni mengenai
perlunya penanggalan Islam, mereka hanya mengemukakan dua pilihan,
yakni memulai tahun Islam dari sejak diutusnya Muhammad sebagai
rasul atau sejak beliau hijrah ke Madinah. Akhirnya, pilihan
Khalifah Umar —yang disepakati para sahabat— jatuh pada yang
terakhir. Khalifah Umar beralasan, Hijrah adalah pembeda antara yang
haq dan yang batil (ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, 2/3). Saat itu
tidak ada seorang sahabat pun yang mengusulkan tahun Islam dimulai
sejak lahirnya Nabi Muhammad Saw.
Demikian pula ketika mereka bermusyawarah tentang dari bulan apa
tahun Hijrah dimulai; mereka pun hanya mengajukan dua alternatif,
yakni bulan Ramadhan dan bulan Muharram. Pilihan akhirnya jatuh pada
yang terakhir, karena bulan Muharram adalah bulan ketika orang-orang
kembali dari menunaikan ibadah haji, dan Muharram adalah salah satu
bulan suci (ath-Thabari, ibid.). Saat itu pun tidak ada yang
mengusulkan bulan Rabiul Awwal, bulan lahirnya Rasulullah Saw,
sebagai awal bulan tahun Hijrah.
Realitas tersebut, paling tidak, menunjukkan bahwa para sahabat
sendiri tidak terlalu `memandang penting' momentum hari dan tahun
kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagaimana orang-orang Kristen
memandang penting hari dan tahun kelahiran Isa al-Masih, yang
kemudian mereka peringati sebagai Hari Natal. Itu membuktikan bahwa
para sahabat bukanlah orang-orang yang biasa mengkultuskan Nabi
Muhammad Saw, sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa as.
Hal itu karena mereka tentu sangat memahami benar sabda Nabi
Muhammad Saw sendiri yang pernah menyatakan:
Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani
mengkultuskan putra Maryam (Isa as.), karena sesungguhnya aku hanya
sekadar seorang hamba-Nya. [HR. Bukhari dan Ahmad].
Memang, sebagaimana manusia lainnya, secara fisik atau lahiriah,
tidak ada yang istimewa pada diri Muhammad Saw sebagai manusia,
selain beliau adalah seorang Arab dari keturunan yang dimuliakan di
tengah-tengah kaumnya. Wajarlah jika Allah SWT, melalui lisan beliau
sendiri, berfirman:
Katakanlah, "Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian…" (Qs.
Fushshilat [41]: 6).
Lalu mengapa setiap tahun kaum Muslim saat ini begitu antusias
memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw; sesuatu yang bahkan tidak
dilakukan oleh Nabi Saw sendiri dan para sahabat beliau?
Berbagai jawaban atau alasan dari mereka yang memperingati Maulid
Nabi Muhammad Saw biasanya bermuara pada kesimpulan, bahwa Muhammad
Saw memang manusia biasa, tetapi beliau adalah manusia teragung,
karena beliau adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu; beliau
adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.
Karena itu, kelahirannya sangat layak diperingati. Peringatan Maulid
Nabi Muhammad Saw sendiri tidak lain merupakan sebuah sikap
pengagungan dan penghormatan (ta'zhîman wa takrîman) terhadap beliau
dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul; sebagai pembawa risalah
sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.
Walhasil, jika memang demikian kenyataannya, kita dapat memahami
makna Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw yang diselenggarakan
setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai
bentuk pengagungan dan penghormatan beliau dalam kapasitasnya
sebagai nabi dan rasul Allah. Itulah yang menjadikan beliau sangat
istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain. Keistimewaan beliau
tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah SWT, yang tidak
diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah SWT berfirman
(masih dalam surah dan ayat yang sama):
Katakanlah, "Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya
saja) aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang
Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang
menuju kepada-Nya. (Qs. Fushshilat [41]: 6).
Makna Kelahiran Muhammad Saw
----------------------------
Kelahiran Muhammad Saw tentu tidaklah bermakna apa-apa seandainya
beliau tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah, yang bertugas
untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia agar mereka mau
diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi-
Nya itu. Karena itu, Peringatan Maulid Nabi Saw pun tidak akan
bermakna apa-apa —selain sebagai aktivitas ritual dan rutinitas
belaka— jika kaum Muslim tidak mau diatur oleh wahyu Allah, yakni al-
Qur'an dan as-Sunnah, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ke
tengah-tengah mereka. Padahal, Allah SWT telah berfirman:
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja
yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (Qs. al-Hasyr [59]: 7).
Lebih dari itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah
Muhammad Saw, yang antara lain diekspresikan dengan Peringatan
Maulid Nabi Saw, sejatinya merupakan perwujudan kecintaan kepada
Allah, karena Muhammad Saw adalah kekasih-Nya. Jika memang demikian
kenyataannya maka kaum Muslim wajib mengikuti sekaligus meneladani
Nabi Muhammad Saw dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar
dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya saja. Allah SWT berfirman:
Katakanlah, "Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku."
(Qs. Ali-Imran [3]: 31).
Dalam ayat di atas, frasa fattabi'ûnî (ikutilah aku) bermakna umum,
karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh),
pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek
tertentu yang dipraktikkan Nabi Saw.
Di samping itu, Allah SWT juga berfirman:
Sesungguhnya engkau berada di atas khuluq yang agung. (Qs. al-Qalam
[68]: 4).
Di dalam tafsirnya, Imam Jalalin menyatakan bahwa kata khuluq dalam
ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain,
Tafsîr Jalâlain, jld. 1, hal. 758). Dengan demikian, ayat di atas
bisa dimaknai: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup
yang agung. Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip
pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: Sesungguhnya engkau berada di
atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam (Ibn Katsir, Tafsîr
Ibn Katsîr, jld. 4, hal. 403). Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini
dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah istri Nabi Saw
pernah ditanya oleh Sa'ad bin Hisyam mengenai akhlak Nabi Saw Aisyah
lalu menjawab:
"Sesungguhnya akhlaknya adalah al-Quran." [HR. Ahmad].
Dengan demikian, berdasarkan ayat al-Qur'an dan hadis penuturan
Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa meneladani Nabi Muhammad Saw
hakikatnya adalah dengan cara mengamalkan seluruh isi al-Qur'an,
yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Artinya, kaum Muslim
dituntut untuk mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad Saw dalam
seluruh perilakunya: mulai dari akidah dan ibadahnya;
makanan/minuman, pakaian, dan akhlaknya; hingga berbagai muamalah
yang dilakukannya seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik,
pendidikan, hukum, dan pemerintahan. Sebab, Rasulullah Saw sendiri
tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta
melaksanakan shalat, shaum, zakat, dan haji secara benar; tetapi
juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi
ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan,
melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan
sanksi-sanksi hukum (`uqûbat) bagi pelaku kriminal, dan mengatur
pemerintahan/negara secara benar. Lalu, apakah memang Rasulullah Saw
hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan
akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja
tidak!
Jika demikian, mengapa saat ini kita tidak mau meninggalkan riba dan
transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme
sekular; tidak mau mengatur urusan sosial dengan aturan Islam; tidak
mau menjalankan pendidikan dan politik Islam; tidak mau menerapkan
sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi
pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi
yang murtad, dan lain-lain); juga tidak mau mengatur
pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu
justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah Saw selama bertahun-tahun
di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah
Islamiyah)?
Kelahiran Nabi Saw: Kelahiran Masyarakat Baru
---------------------------------------------
Sebagaimana diketahui, masa sebelum Islam adalah masa kegelapan, dan
masyarakat sebelum Islam adalah masyarakat Jahiliah. Akan tetapi,
sejak kelahiran (maulid) Muhammad Saw di tengah-tengah mereka, yang
kemudian diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul pembawa risalah
Islam ke tengah-tengah mereka, dalam waktu hanya 23 tahun, masa
kegelapan mereka berakhir digantikan dengan masa `cahaya';
masyarakat Jahiliah terkubur digantikan dengan lahirnya masyarakat
baru, yakni masyarakat Islam. Sejak itu, Nabi Muhammad saw. adalah
pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, di
pemerintahan, bahkan di medan pertempuran.
Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa makna terpenting dari
kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah keberadaannya yang telah mampu
membidani kelahiran masyarakat baru, yakni masyarakat Islam; sebuah
masyarakat yang tatanan kehidupannya diatur seluruhnya oleh aturan-
aturan Islam.
Renungan
--------
Walhasil, Peringatan Maulid Nabi Saw sejatinya dijadikan momentum
bagi kaum Muslim untuk terus berusaha melahirkan kembali masyarakat
baru, yakni masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibidani
kelahirannya oleh Rasulullah Saw di Madinah. Sebab, siapapun tahu,
masyarakat sekarang tidak ada bedanya dengan masyarakat Arab pra-
Islam, yakni sama-sama Jahiliah. Sebagaimana masa Jahiliah dulu,
saat ini pun aturan-aturan Islam tidak diterapkan.
Karena aturan-aturan Islam —sebagaimana aturan-aturan lain— tidak
mungkin tegak tanpa adanya negara, maka menegakkan negara yang akan
memberlakukan aturan-aturan Islam adalah keniscayaan. Inilah juga
yang disadari benar oleh Rasulullah Saw sejak awal dakwahnya.
Rasulullah Saw tidak hanya menyeru manusia agar beribadah secara
ritual kepada Allah dan berakhlak baik, tetapi juga menyeru mereka
seluruhnya agar menerapkan semua aturan-aturan Allah dalam seluruh
aspek kehidupan mereka. Sejak awal, bahkan para pemuka bangsa Arab
saat itu menyadari, bahwa secara politik dakwah Rasulullah Saw akan
mengancam kedudukan dan kekuasaan mereka. Itulah yang menjadi alasan
orang-orang seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, dan
para pemuka bangsa Arab lainnya sangat keras menentang dakwah
Rasulullah Saw. Akan tetapi, semua penentangan itu akhirnya dapat
diatasi oleh Rasulullah Saw sampai beliau berhasil menegakkan
kekuasaannya di Madinah sekaligus melibas kekuasaan mereka.
Walhasil, dakwah seperti itulah yang juga harus dilakukan oleh kaum
Muslim saat ini, yakni dakwah untuk menegakkan kekuasaan Islam yang
akan memberlakukan aturan-aturan Islam, sekaligus yang akan
meruntuhkan kekuasaan rezim kafir yang telah memberlakukan aturan-
aturan kufur selama ini. Hanya dengan itulah Peringatan Maulid Nabi
Saw yang diselenggarakan setiap tahun akan jauh lebih bermakna.
Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.
Refleksi Maulid Nabi SAW sebagai Pencerahan Spiritualitas
Oleh: Hery Sucipto
Kelahiran Nabi Muhammad SAW tak syak lagi telah memberikan makna lain dalam kehidupan umat manusia. Secara mendasar, nabi telah mampu mengadakan perubahan-perubahan signifikan dan meletakkan dasar nilai-nilai positif dalam menjalani kehidupan ini. Dalam konteks ini, ia secara cemerlang telah melakukan apa yang biasa disebut sebagai humanisasi spiritualitas yang telah lama terjebak dalam fatalisme akibat krisis moral bangsa saat itu.
Jika kita cermati, proses itu dilakukan nabi dengan melakukan suatu pembebasan dan pemberdayaan dalam moral-etik Islam. Konsep pemberdayaan itu memiliki parameter empirik dan operasional dalam tiga pilar: (1) Persamaan derajat kemanusiaan; (2) Adanya rasa keadilan dalam masyarakat; (3) Adanya kemerdekaan. Ketiga pilar ini oleh Hassan Hanafi (2000) disebut sebagai teologi pembebasan yang, menurut Nurcholish Madjid (1995), menjadi dasar-dasar konstitusi Madinah yang merupakan operasionalisasi semangat tauhid yakni membebaskan manusia dengan mendorong sikap kritis, dan berusaha secara konstan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru. Ciri utama dari hal ini adalah pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material manusia dengan menyusun kembali tatanan sosial menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, berkeadilan, dan egaliter.
Prinsip utama
Aspek pembebasan dan pemberdayaan moral-etik Islam ini tidak lain dilakukan nabi semata sebagai upaya transformasi dan pencerahan kehidupan manusia menuju apa yang diistilahkan Alquran sebagai shiraatal mustaqiim (jalan kebenaran).
Dalam konteks ini, setidaknya ada dua prinsip yang menjadi mainstream nabi dalam membangun masyarakat berkeadaban tadi, yang dasar-dasarnya tertuang dalam Piagam Madinah (mitsaq almadinah). Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan, dan kedua, prinsip inklusivisme (keterbukaan). Kedua prinsip ini kemudian dimodifikasi oleh kelompok sunni (ahl alsunnah wal-jamaah) menjadi i'tidal (konsisten), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan tawasuth (moderat), yang semuanya menjadi landasan ideal sekaligus operasional mazhab sunni dalam menjalin hubungan sosial-kemasyarakatan.
Prinsip kesederajatan dan keadilan ini mencakup semua aspek, baik politik, ekonomi, maupun hukum. Dalam aspek politik nabi mengakomodasi seluruh kepentingan. Semua rakyat mendapat hak yang sama dalam politik. Mereka tidak dibedakan berdasarkan suku maupun agama. Meskipun suku Quraisy berpredikat the best dan Islam sebagai agama dominan, tapi mereka tidak dianakemaskan. Seluruh lapisan masyarakat duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ideologi sukuisme dan nepotisme tidak dikenal nabi.
Sementara dalam aspek ekonomi, nabi menerapkan ajaran egalitarianisme, yakni pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat punya hak yang sama untuk berusaha dan berbisnis (lihat QS Alisra: 26 dan Alhasyr: 7). Nabi sangat menentang paham kapitalisme, yang menjadikan kapital/modal hanya dikuasai oleh suatu kelompok tertentu yang secara ekonomi mapan.
Misi egalitarianisme ini sangat tipikal dalam Islam sebab misi utama yang diemban oleh nabi bukanlah misi teologis, dalam pengertian untuk membabat orang-orang yang tidak seideologi dengan Islam, melainkan untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.
Dari sini kemudian Mansour Fakih mensinyalir perlawanan yang dilakukan kafir Quraisy bukanlah perlawanan agama (teologi) melainkan lebih ditekankan pada aspek ekonomi, karena prinsip egalitarianisme Islam berseberangan dengan konsep kapitalisme Mekkah.
Di samping faktor politik dan ekonomi, hal sangat mendasar yang ditegakkan nabi adalah konsistensi legal (hukum). Sebagai sejarawan ulung, nabi memahami bahwa aspek hukum sangat urgen dan signifikan kaitannya dengan stabilitas suatu bangsa. Karena itulah nabi tidak pernah membedakan ''orang atas'', ''orang bawah'' atau keluarganya sendiri.
Dalam sebuah hadits, ia pernah menegaskan bahwa kehancuran suatu bangsa di masa lalu adalah karena jika ''orang atas'' (alsyarif) melakukan kejahatan dibiarkan tapi bila ''orang bawah'' (aldhaif) yang melakukannya pasti dihukum. Karena itu nabi juga menegaskan seandainya Fatimah pun, putri kesayangannya, melakukan kejahatan, maka dia akan menghukumnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dari hadits ini dapat dipahami, stabilitas suatu bangsa dan negara bisa terbangun dengan konsistensi hukum. Masyarakat beperadaban tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil dan egaliter. Nabi sebagai manifestasi pemerintah sadar betul akan posisinya sebagai cerminan masyarakat (uswah hasanah).
Ketertiban sosial selamanya tidak akan terwujud sepanjang negara/pemerintah tidak konsisten dengan ketentuan hukum yang berlaku. Plato pernah berkata bahwa ketertiban sosial berawal dari ketertiban negara. Maka salah satu misi Islam adalah mewujudkan suatu tatanan sosial politik yang adil, egaliter, bersih dan berwibawa dengan membangun suatu masyarakat tak berkelas (a classless society).
Masyarakat tak berkelas artinya, struktur di dalamnya tidak membedakan antara orang elite dan orang miskin, antara kepala negara dan ketua RT. Nabi pernah bersabda ''Tidak ada kelebihan antara orang Arab dengan selain Arab ('ajam) selain dengan takwa.''
Inklusivisme dan moralitas
Menurut Nurcholish Madjid (1996) keterbukaan (inklusivisme) adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat secara positif dan optimis, yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS Ala'raf: 172 dan Alrum: 70), sebelum terbukti sebaliknya.
Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif ini, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mendengar, kesediaan untuk mendengar sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting yaitu sikap rendah hati berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan.
Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Inilah yang dipraktekkan nabi dalam menegakkan Negara Madinah (negara peradaban). Tidak jarang beliau mendengar dan menerima kritik dari sahabat, terlebih sahabat Umar Ibnu Khattab yang terkenal sebagai kritikus ulung. Sahabat Umar tidak dianggap rival, makar, kontra establishment apalagi ekstrem kanan oleh nabi, meskipun kritikan-kritikan tajam keluar dari mulutnya.
Dalam konteks ini, faktor moral juga memegang kunci penting. Fakta sejarah menunjukkan betapa banyak peradaban-peradaban besar yang tumbang akibat runtuhnya moral. Bangsa Indonesia kini sedang membangun sejarahnya sendiri, membangun peradaban baru bagi masa depan. Karenanya agar tidak bernasib seperti bangsa-bangsa masa lalu, prinsip iman menjadi penting adanya.
Dalam agama, iman menjadi basis untuk menumbuhkan kesadaran moral. Keyakinan kepada Tuhan yang transenden, maha melihat, maha mendengar dan maha mengetahui mendorong keinsafan batin dalam diri manusia. Iman kepada Tuhan menciptakan kedamaian dan ketenteraman jiwa. Dengan cara itu manusia menjadi lebih manusiawi, lebih halus kepekaan moralnya untuk kemudian mampu menumbuhkan kesadaran sosial.
Nabi Muhammad berhasil dengan gemilang membangun masyarakat peradaban (Madinah) sehingga dikagumi di Timur dan Barat, pada hakikatnya karena dilakukan dengan semangat sosial yang tinggi yang terpancar dari iman yang kukuh. Prinsip equal and justice dan inklusivisme yang merupakan basis tegaknya peradaban mustahil dijalankan beliau tanpa landasan ilahiyah yang kuat.
Becermin dari sejarah Nabi Muhammad di atas, maka untuk menciptakan kawasan Indonesia yang sejuk, damai, anggun dan berwibawa, mutlak harus menempatkan moralitas di atas segala-galanya. Nabi yang tidak dilengkapi dengan DPR saja mampu membangun peradaban di Madinah, mengapa kita tidak? Padahal Bangsa Indonesia dilengkapi dengan sarana legislatif dan struktur pemerintahan yang mengakar ke bawah.
Persoalannya tiada lain adalah krisis moral dan krisis iman. Bagaimanapun orang yang moralnya kukuh, imannya kuat pantang berbuat destruktif. Hal ini karena merasa selalu dikoordinasi oleh Tuhan, yang Mahatahu. Korupsi, kolusi, buruk sangka (prejudice), ceroboh, tirani dan sebagainya yang melanda tanah air ini karena tiadanya iman yang mapan.
Allah berfirman, ''Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya akan Kami bukakan kepada mereka berkah dari langit dan bumi... (QS Ala'raf 96). Secara universal ayat ini mengandung makna bahwa tegaknya sebuah peradaban karena landasan transendennya kuat. Sebaliknya hancurnya sebuah peradaban, karena masyarakatnya dilanda krisis moral.
Nah dalam kerangka kelahiran Muhamamd SAW inilah, sekiranya pelajaran maha penting di atas itu menjadi hikmah dan landasan utama kita membangun masyarakat yang manusiawi, ramah, dan santun. Maulid ini sangat tepat kita jadikan momentum untuk melakukan perenungan-perenungan atas perilaku kita selama ini, sudah manusiawi atau belum. Kita jadikan bulan maulid itu sebagai ''renaisance etika profetis'' guna membangun peradaban baru yang lebih sejuk dan anggun.
Penulis adalah Alumnus Universitas Al Azhar, Kairo-Mesir.
Tulisan ini dikutip dari Harian Umum Republika.co.id., edisi, Jumat, 24 Mei 2002
pesan
pengunjung
Followers
profile
Sunday, March 2, 2008
Renungan di Bulan Maulid
Label: Islami
Subscribe to:
Post Comments (Atom)


0 komentar:
Post a Comment
Silahkan isi Pesan-Kesan: