Saturday, May 3, 2008

Artikel Islami


Amal Ibadah yang Paling Utama
Khalid Abu Syaadi

Keutamaan amal ibadah ditentukan oleh empat hal utama ini:
1. Memperhatikan waktunya. Misalnya, ibadah yang paling utama di bulan Ramadhan adalah qiyamullail. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
"Siapa yang mengisi malam bulan Ramadhan dengan keimanan dan ibadah, niscaya baginya diampunkan dosa-dosanya yang telah lewat."(1)
Dan berderma, karena Rasulullah Saw: "beliau paling dermawan saat berada pada bulan Ramadhan".(2) Jika masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, maka amal ibadah yang paling utama adalah beri'tikaf dan tidak keluar dari masjid. Dan jika masuk sepuluh hari pertama dari bulan Dzul Hijjah, maka amal ibadah yang paling utama adalah amal saleh dan berlomba untuk berjihad, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
"Kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan harta dan jiwanya, dan tidak menuntut balasan dari dua hal itu."(3)
Amal ibadah yang paling utama pada bulan Muharram dan Sya'ban adalah puasa, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: "Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram." (4) Dan perkataan A'isyah r.a.:
"Aku dapati Nabi Saw paling banyak berpuasa pada bulan Sya'ban." (5)
Amal ibadah yang paling utama saat mengajarkan orang yang ingin belajar adalah: bersungguh-sungguh untuk mengajarkannya, dan meninggalkan pekerjaan yang lain. Dan ibadah yang paling utama saat wuquf di Arafah adalah: berusaha untuk bermunajat, berdo'a, dan berdzikir, serta tidak berpuasa yang dapat melemahkan tubuh untuk melakukan semua ibadah tadi.
Ibadah yang paling utama pada waktu menjelang subuh adalah: shalat dan istighfar. Berdasarkan firman Allah SWT:
"dan yang memohon ampun di waktu sahur." Ali Imran: 17.
dan amal ibadah yang paling utama saat berbuka adalah: berdoa. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
"Tiga kelompok orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa saat ia berbuka puasa, ...".(6)
Amal ibadah yang paling utama saat mendengarkan adzan adalah, membalas ucapan adzan tersebut.
2. Memperhatikan Tempat.
Ada beberapa tempat , yang jika dilakukan ibadah di situ, akan mendapatkan pahala dan keutamaan yang lebih besar dibandingkan jika dilakukan di tempat lain. Seperti shalat di Masjidil Haram, setara dengan seratus ribu shalat di tempat lainnya. Shalat di Masjid Nabawi, setara dengan seribu shalat di tempat lainnya. Dan shalat di Masjid Aqsha, setara dengan lima ratus kali shalat di tempat lainnya.
Shalat yang paling utama dilakukan di masjid adalah shalat wajib. Sementara untuk shalat sunnah,yang paling utama adalah jika dillakukan di rumah. Berdasarkan sabda Nabi Saw:
"Shalat yang paling utama bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib."(7)
Dzikir dan berdoa di Shafa dan Marwa lebih utama dari shalat. Thawaf bagi orang yang baru datang dari luar Mekkah lebih utama dari shalat, dan sebaliknya bagi orang Mekkah sendiri. Do'a saat masuk rumah atau keluar dari rumah lebih diutamakan daripada membaca Al Qur'an.
3. Memperhatikan Jenis Ibadah.
Jenis shalat lebih utama dari jenis membaca Al Qur'an. Jenis membaca Al Qur'an lebih dibandingkan jenis dzikir. Jenis dzikir lebih utama dibandingkan jenis do'a. jenis jihad lebih utama dari jenis ibadah hajji. Bahkan di antara satu jenis ibadah sendiri ada perbedaan keutamaan antara satu macam dengan macam yang lain. Misalnya:
"Puasa (sunnah) yang paling utama adalah puasa nabi Daud, yaitu berpuasa satu hari dan berbuka satu hari".(8) Dan
"Shadaqah yang paling utama adalah shadaqah bagi sanak keluarga yang membenci kita." (9)
Dan
"Syuhada yang paling utama adalah yang darahnya ditumpahkan musuh, dan kendaraannya dirusak musuh"(10). Dan
"Dzikir yang paling utama adalah: la ilaha illah Allah, dan doanya yang paling utama adalah: alhamdulillah." (11)
Dan
"Jihad yang paling utama adalah membela kebenaran di hadapan penguasa yang lalim." (12)
4. Memperhatikan Situasi dan Kondisi.
Rasulullah Saw bersabda:
"Jika Allah SWT kagum melihat seorang hamba, niscaya hamba itu tidak akan dihisab."(13)
Kemudian beliau mengabarkan tentang sipat orang-orang yang membuat Allah SWT tertawa. Beliau bersabda:
"Tiga kelompok manusia yang dicintai dan dikagumi oleh Allah SWT dan diberikan kabar gembira oleh-Nya adalah: ..., seseorang yang mempunyai isteri cantik dan peraduan yang nyaman nan indah, kemudian ia bangun di waktu malam untuk beribadah. Terhadap orang tersebut Allah SWT berkomentar: "dia meninggalkan syahwatnya untuk beribadah kepada-Ku, padahal jika ia mau ia dapat terus menikmati tidurnya." Dan orang yang sedang berada dalam perjalanan bersama rombongan, kemudian ia tidak tidur malam kecuali sedikit, dan ia isi akhir malamnya dengan ibadah, baik dalam kesulitan maupun dalam kesenangan."(14)
Ini jika dalam kondisi negara aman. Sedangkan jika dalam kondisi perang, ukurannya lain lagi, berbeda dengan sebelumnya. Oleh karena itu, perlu memperhatikan situasi dan kondisi. Orang yang cerdik adalah orang yang mengetahui amal ibadah yang paling utama di segala situasi dan kondisi. 'Auf bin Harits adalah salah seorang yang cerdik ini. Ketika ia bertanya kepada Nabi Saw pada saat perang Badar, sebagai berikut: "Wahai Rasulullah Saw, apakah yang membuat Rabb-ku tertawa? (maksudnya: apakah amal ibadah yang jika dikerjakan oleh seseorang pada situasi saat ini mencukupi untuk membuat dirinya terbebaskan dari perhitungan akhirat). Nabi Saw menjawab:
"Orang yang menerjang musuh dengan tanpa perisai". Maka dia pun melepaskan baju besi yang ia pakai, kemudian mengambil pedangnya dan segera menyerang pasukan musuh, hingga ia mendapatkan syahid.
Memperhatikan situasi dan kondisi mencakup memperhatikan potensi masing-masing peserta kompetisi dan kelebihan yang mereka miliki. "Orang kaya yang memiliki banyak harta, dan hatinya merasa sayang untuk menyumbangkan hartanya itu: maka shadaqah hartanya dan kerelaan hatinya untuk menyumbangkan hartanya itu lebih utama baginya dibandingkan qiyamullail dan berpuasa sunnah di siang hari. Orang yang pemberani dan kuat, yang ditakuti musuh: keikutsertaannya dalam pasukan jihad walau sebentar, dan berjihad melawan musuh-musuh Allah, baginya lebih utama dibandingkan melaksanakan ibadah hajji, berpuasa, bersedekah dan melakukan ibadah sunnah. Orang yang berpengetahuan, yang mengetahui sunnah Nabi, ilmu halal-haram, dan ilmu tentang mana yang baik dan mana yang tercela menurut agama: baginya bergaul dengan manusia, mengajarkan mereka, dan memberikan mereka nasihat dalam agama, itu lebih utama daripada mengucilkan diri, menghabiskan waktunya untuk shalat, membaca Al Qur'an dan bertasbih. Pejabat pemerintah yang memegang urusan manusia: baginya, duduk sebentar untuk mengurusi perkara masyarakat, membantu orang yang dizhalimi, menjalankan hadd Allah, membantu pihak yang benar, dan melawan pihak yang salah, itu lebih utama baginya dari pada beribadah bertahun-tahun."(15)
Kami tambahkan: amal ibadah yang paling utama bagi orang yang dikuasai oleh sikap masa bodoh terhadap siksaan Allah SWT dan yang tertipu oleh dirinya sendiri adalah: dengan merasa takut kepada Allah SWT. Amal ibadah yang paling utama bagi orang yang dikuasai oleh keputus asaan dan patah harapan dari rahmat Allah SWT adalah: menumbuhkan sikap pengharapan kepada-Nya. Amal yang paling utama bagi orang yang junub adalah: mandi besar. Amal yang paling utama bagi orang yang takut impoten adalah: segera menikah. Amal yang paling utama saat kedatangan tamu adalah: melayani dan menemuinya, dibandingkan wirid yang sunnah. Amal ibadah yang paling utama saat membantu orang yang ditimpa kesulitan adalah: memfokuskan diri untuk membantunya dan menolongnya, dan mementingkan hal itu dibandingkan wirid dan khalwatnya. Amal ibadah yang paling utama saat seorang muslim sakit adalah: menjenguknya. Dan amal ibadah yang paling utama saat kematiannya adalah: menyaksikan jenazahnya. Amal ibadah yang paling utama ... dst.
Catatan kaki:
1. Hadits diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah, seperti terdapat dalam Sahih Jami' Shagir, no. 6316.
2. Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, An Nasai dan Ahmad dari Ibnu Abbas.
3. Hadits diriwayatkan oleh jama'ah, kecuali Muslim dan an Nasai, dan redaksi hadits ini dari Ahmad.
4. Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Thabrani, dari Jundub, seperti terdapat dalam Sahih Jami' Shagir, no. 1127.
5. Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Daud, seperti terdapat dalam Sahih at Targhib wat Tarhib, no. 1014.
6. Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, ibnu Majah, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah, dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, seperti terdapat dalam al Muntaqa, no. 513
7. Hadits diriwayatkan oleh An Nasai, Thabrani, dan Abu Daud, dari Zaid bin Tsabit, seperti terdapat dalam Sahih Jami' Shagir, no. 1128
8. Hadits diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan An Nasai, dari Abdullah bin Umar, seperti terdapat dalam Sahih Jami' Shagir, no. 1131.
9. Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dari Abu Ayyub, seperti terdapat dalam Sahih Jami' Shagir, no. 1121.
10. Hadits diriwayatkan oleh Thabrani dasri Abu Umamah, seperti terdapat dalam Sahih Jami' Shagir, no. 1119.
11. Hadits diriwayatkan oleh Tirmidzi, An Nasai, dan Ibnu Majah, dari Jabir, dan dinilai hasan oleh al Albani, dalam Sahih Jami' Shagir, no. 1115.
12. Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad dan Thabrani dari Abu Umamah, seperti terdapat Sahih Jami' Shagir, no. 1111
13. Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya'la. Para perawinya tsiqat.
14. Hadits diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Kabir, dengan sanad hasan, seperti terdapat dalam Sahih at Targhib wa at Tarhiib, no. 650.
15. 'Uddatu as Shaabiriin wa Dzakhiiratu asy Syaakiriin, hal. 105.
Kompetisi Menuju Surga
Judul Asli: Sibaaq Nahwa al Jinaan
Penulis: Khalid Abu Syaadi
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani dan Rukman AR. Said
Penerbit: Daar Basyiir, 2000
Edisi bahasa Indonesia insya Allah akan diterbitkan oleh Gema Insani Press.
Hikmah Pengharaman Babi
oleh Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
________________________________________
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda-pemuda kita yang sering pergi ke negara-negara Eropa dan Amerika, yang menjadikan daging babi sebagai makanan pokok dalam hidangan mereka.
Dalam kesempatan ini, saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, "Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?"
Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina.
Mengetahui hal itu, mereka bertanya, "Untuk apa semua ini?" Beliau menjawab, "Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia."
Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut.
Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya.
Selanjutnya beliau berkata, "Saudara-saudara, daging babi membunuh 'ghirah' orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya."
Kemudian beliau memberikan contoh yang baik sekali dalam syariat Islam. Yaitu Islam mengharamkan beberapa jenis ternak dan unggas yang berkeliaran di sekitar kita, yang memakan kotorannya sendiri. Syariah memerintahkan bagi orang yang ingin menyembelih ayam, bebek atau angsa yang memakan kotorannya sendiri agar mengurungnya selama tiga hari, memberinya makan dan memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh hewan itu. Hingga perutnya bersih dari kotoran-kotoran yang mengandung bakteri dan mikroba. Karena penyakit ini akan berpindah kepada manusia, tanpa diketahui dan dirasakan oleh orang yang memakannya. Itulah hukum Allah, seperti itulah hikmah Allah.
Ilmu pengetahuan modern telah mengungkapkan banyak penyakit yang disebabkan mengkonsumsi daging babi. Sebagian darinya disebutkan oleh Dr. Murad Hoffman, seorang Muslim Jerman, dalam bukunya "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman", halaman 130-131: "Memakan daging babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kandungan kolestrol dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh, yang mengakibatkan kemungkinan terserang kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rematik. Bukankah sudah kita ketahui, virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang pada musim panas karena medium babi?"
Dr. Muhammad Abdul Khair, dalam bukunya Ijtihâdât fi at Tafsîr al Qur'an al Karîm, halaman 112, menyebutkan beberapa penyakit yang disebabkan oleh daging babi: "Daging babi mengandung benih-benih cacing pita dan cacing trachenea lolipia. Cacing-cacing ini akan berpindah kepada manusia yang mengkonsumsi daging babi tersebut. Patut dicatat, hingga saat ini, generasi babi belum terbebaskan dari cacing-cacing ini. Penyakit lain yang ditularkan oleh daging babi banyak sekali, di antaranya:
1. Kolera babi. Yaitu penyakit berbahaya yang disebabkan oleh virus
2. Keguguran nanah, yang disebabkan oleh bakteri prosillia babi.
3. Kulit kemerahan, yang ganas dan menahun. Yang pertama bisa menyebabkan kematian dalam beberapa kasus, dan yang kedua menyebabkan gangguan persendian.
4. Penyakit pengelupasan kulit.
5. Benalu eskares, yang berbahaya bagi manusia.
Fakta-fakta berikut cukup membuat seseorang untuk segera menjauhi babi:
1. Babi adalah hewan yang kerakusannya dalam makan tidak tertandingi hewan lain. Ia makan semua makanan di depannya. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak akan berhenti makan, bahkan memakan muntahannya.
2. Ia memakan semua yang bisa dimakan di hadapannya. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya.
3. Ia mengencingi kotoranya dan memakannya jika berada di hadapannya, kemudian memakannya kembali.
4. Ia memakan sampah, busuk-busukan, dan kotoran hewan.
5. Ia adalah hewan mamalia satu-satunya yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama, jika dibiarkan.
6. Kulit orang yang memakan babi akan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
7. Penelitian ilmiah modern di dua negara Timur dan Barat, yaitu Cina dan Swedia --Cina mayoritas penduduknya penyembah berhala, sedangkan Swedia mayoritas penduduknya sekular-- menyatakan: daging babi merupakan merupakan penyebab utama kanker anus dan kolon. Persentase penderita penyakit ini di negara-negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis. Terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.
Kini kita tahu betapa besar hikmah Allah mengharamkan daging dan lemak babi. Untuk diketahui bersama, pengharaman tersebut tidak hanya daging babi saja, namun juga semua makanan yang diproses dengan lemak babi, seperti beberapa jenis permen dan coklat, juga beberapa jenis roti yang bagian atasnya disiram dengan lemak babi. Kesimpulannya, semua hal yang menggunakan lemak hewan hendaknya diperhatikan sebelum disantap. Kita tidak memakannya kecuali setelah yakin bahwa makanan itu tidak mengandung lemak atau minyak babi, sehingga kita tidak terjatuh ke dalam kemaksiatan terhadap Allah SWT, dan tidak terkena bahaya-bahaya yang melatarbelakangi Allah SWT mengharamkan daging dan lemak babi.
________________________________________
Dari buku: Hidangan Islami: Ulasan Komprehensif Berdasarkan Syari'at dan Sains Modern
Penulis: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani, Cet : I/1997
Penerbit: Gema Insani Press
Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388


Generasi Qur'ani yang Istimewa
Sayyid Quthb

Ada fenomena sejarah yang harus diperhatikan oleh pembawa dakwah Islam di seluruh penjuru bumi dan di seluruh masa. Untuk kemudian merenungkannya dengan mendalam. Karena ia memiliki pengaruh yang besar dalam manhaj dan arah dakwah.
Dakwah Islam pada generasi pertama telah menghasilkan generasi yang istimewa --yaitu generasi sahabat-- dalam sejarah Islam seluruhnya, dan sejarah manusia seluruhnya. Kemudian generasi semacam itu tidak lagi dihasilkan dalam sejarah Islam. Benar ada beberapa gelintir orang dengan karakteristik seperti generasi pertama itu yang dihasilkan oleh dakwah Islam sepanjang sejarah setelah generasi pertama. Namun belum pernah terjadi dalam sejarah Islam, terkumpulnya tokoh-tokoh besar semacam itu, dalam satu tempat, seperti yang terjadi pada masa pertama dari kehidupan dakwah ini. Ini adalah fenomena yang amat jelas. Yang mengandung makna yang harus kita renungkan dengan saksama, dengan harapan kita dapat menyingkap rahasia keberhasilannya.
Al Qur'an yang menjadi jantung dakwah itu ada di tangan kita, demikian juga dengan hadits Rasulullah Saw, petunjuk praktis beliau, dan sirah beliau yang mulia, semuanya ada di tangan kita. Seperti pernah ada pada generasi yang pertama itu, yang belum pernah terulang keberadaan generasi semacam itu dalam sejarah. Yang tidak ada hanyalah pribadi Rasulullah Saw; apakah ini rahasianya?
Jika keberadaan Rasulullah Saw secara fisik adalah suatu keniscayaan bagi pelaksanaan dan keberhasilan dakwah ini, niscaya Allah SWT tidak menjadikannya sebagai dakwah bagi seluruh umat manusia, tidak menjadikannya sebagai risalah terakhir, dan tidak menyerahkan tanggungjawab memberikan tuntunan petunjuk kepada umat manusia di muka bumi kepada dakwah ini, hingga akhir zaman.
Namun Allah SWT telah menjamin untuk memelihara Adz Dzikr. Serta memberitahukan bahwa dakwah ini dapat terus berjalan setelah wafatnya Rasulullah Saw, dan dapat memetik keberhasilan. Allah SWT telah menyerahkan dakwah agama ini kepada Rasulullah Saw selama dua puluh tiga tahun, hingga akhir hayat beliau, dan tetap memelihara agama ini setelah wafatnya beliau hingga akhir zaman. Dengan demikian, ketidakberadaan Rasulullah Saw secara fisik tidak menjelaskan fenomena itu, juga tidak menjadi faktor penentunya.
* * *
Oleh karena itu, marilah kita cari faktor yang lain. Kita teliti sumber yang menjadi rujukan generasi pertama itu, apakah ada yang berubah darinya? Juga kita teliti manhaj yang menghasilkan tokoh-tokoh semacam mereka itu, apakah ada yang berubah?
Sumber rujukan utama generasi pertama itu adalah Al Quran. Al Quran semata. Sedangkan hadits Rasulullah Sawn petunjuknya hanyalah satu bentuk penjelas dari sumber tersebut. Oleh karena itu, ketika A'isyah r.a. ditanya tentang akhlaq Rasulullah Saw, ia menjawab:
"Akhlaq beliau adalah Al Qur'an." [Hadits diriwayatkan oleh An Nasai]
Dengan demikian, adalah Al Qur'an semata yang menjadi sumber mereka; darinya mereka memetik pelajaran dan dengannya pula mereka diubah menjadi tokoh-tokoh besar. Hal itu terjadi bukan karena umat manusia saat itu tidak memiliki peradaban, budaya, ilmu pengetahuan, buku-buku rujukan atau kajian-kajian ilmiah; sama sekali bukan begitu! Karena saat itu ada peradaban Romawi dan budayanya, serta buku-buku dan undang-undangnya yang sampai saat ini dijadikan pedoman hidup Eropa, atau setidaknya perpanjangan darinya. Ada warisan peradaban Yunani, logikanya, filsafatnya serta seninya, yang tetap menjadi sumber pemikiran Barat hingga saat ini. Juga ada peradaban Persia, seninya, syairnya, legenda-legendanya, kepercayaan-kepercayaannya, dan sistem kekuasaannya. Demikian juga peradaban-peradaban lain, yang jauh maupun dekat: seperti peradaban India, Cina dan lainnya. Peradaban Romawi dan Parsi mengelilingi Jazirah Ara, dari bagian Timur dan Barat, juga Yahudi dan Nashrani yang hidup di jantung Jazirah Arab. Dengan demikian, mereka sama sekali tidak kekurangan peradaban dan budaya internasional, yang membuat generasi ini hanya mengambil rujukan dari Kitab Allah semata, selama masa pembentukannya. Namun sterilisasi mereka dari pengaruh peradaban dan budaya luar itu dilakukan dengan 'planning' yang matang, dan dengan strategi yang terencana. Bukti hal ini marahnya Rasulullah Saw saat melihat Umar bin Khath-thab sedang memegang lembaran Taurat, dan beliau bersabda:
"Demi Allah, seandainya Musa hidup saat ini bersama kalian, niscaya ia hanya diperbolehkan oleh Allah SWT untuk menjadi pengikutku." [Hadits diriwayatkan oleh hafizh Abu Ya'la dari Hammad, dari Sya'bi dari Jabir]
Dengan demikian, ada planning dari Rasulullah Saw untuk mensterilkan generasi ini dari sumber lain, selama masa pembentukan mereka, dan hanya mencukupkan mereka dengan sumber rujukan Kitab Allah semata, sehingga jiwa mereka secara utuh hanya terisi dengan ajaran tersebut, dan mereka berjalan hanya dengan manhajnya semata. Oleh karena itu beliau marah saat melihat Umar bin Khath-thab r.a. ingin mengambil rujukan dari sumber yang lain.
Rasulullah Saw ingin membentuk generasi yang bersih hatinya, akalnya, gambaran hidupnya, dan jiwanya dari segala pengaruh lain, selain manhaj Ilahi, yang dikandung oleh Al Quran al Karim.
Dengan begitu, generasi tersebut hanya mengambil rujukan mereka dari sumber itu semata. Dan hasilnya adalah, tercetaknya generasi istimewa dalam sejarah, yang belum pernah terulang lagi. Kemudian apa yang terjadi pada generasi berikutnya? Ternyata sumber-sumber rujukan mereka telah berubah menjadi beragam dan bermacam-macam! Sumber rujukan generasi-generasi berikutnya telah tercampur oleh filsafat Yunani dan Logika mereka, legenda Parsi dan pola pandang mereka, israiliat Yahudi dan teologi Nashrani, dan pengaruh peradaban serta budaya lainnya. Semua itu tercampur dalam menafsirkan Al Qur'an, bangunan ilmu Kalam, juga dalam fiqh dan ushul. Dari racikan sumber-sumber itu, tercetaklah seluruh generasi berikutnya, sehingga keberhasilan generasi pertama tidak pernah terulang lagi.
Diyakini dengan pasti, bahwa percampuran sumber yang utama dengan sumber-sumber yang lain itulah yang menjadi faktor utama perbedaan keberhasilan generasi pertama dengan seluruh generasi berikutnya. Yaitu generasi pertama Islam yang istimewa itu.
* * *
Ada faktor utama lain, selain perbedaan sumber rujukan itu. Yaitu perbedaan dalam menerima dakwah, dibandingkan dengan generasi pertama yang istimewa itu.
Mereka (generasi pertama) membaca Al Qur'an bukan untuk sekadar ingin tahu dan sekadar membaca, juga bukan sekadar untuk merasakan dan menikmatinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempelajari Al Quran untuk sekadar menambah pengetahuan, atau untuk menambah bobot ilmiah dan kepintaran dalam ilmu fiqh.
Mereka mempelajari Al Qur'an untuk menerima perintah Allah SWT berkenaan dengan masalah pribadi mereka, masyarakat tempat mereka hidup, dan kehidupan yang dijalaninya bersama jama'ahnya. Dan mereka menerima perintah Allah SWT itu untuk segera diamalkan setelah mendengarnya. Seperti seorang tentara dalam medan perang menerima "perintah harian", yang langsung ia kerjakan setelah menerimanya! Oleh karena itu, tidak ada dari mereka yang memperbanyak mempelajari Al Qur'an dalam sekali duduk, karena ia merasa bahwa dengan memperbanyak membaca perintah Allah SWT itu berarti memperbanyak pula kewajiban dan tugas yang harus ia emban. Mereka cukup membaca dan mempelajari sepuluh ayat, setiap kesempatan menelaah Al Qur'an, hingga ia menghapal dan melaksanakan isinya. Seperti diterangkan dalam hadits Ibnu Mas'ud r.a.[Seperti ditulis oleh Ibnu Katsir dalam muqaddimah kitab tafsirnya.]
Perasaan seperti dan sikap ini; yakni sikap menerima ajaran Al Quran untuk dilaksanakan perintahnya, membuat mereka, dengan membaca Al Qur'an, terbukakan gerbang kenikmatan dan ilmu pengetahuan. Hal itu tidak terjadi jika mereka membaca Al Qur'an hanya sekadar untuk meneliti, mengkaji dan membacanya. Dengan cara membaca seperti itu, mereka menjadi termudahkan untuk mengamalkan isinya, teringankan beban tugas mereka, Al Qur'an merasuk dalam diri mereka, dan setelah itu mereka ejawantahkan dalam manhaj yang realistis dan praksis, yang tidak semata berada dalam otak atau kalimat-kalimat yang tersimpan dalam kertas. Namun menjadi wujud perubahan dan peristiwa yang merubah perjalanan hidup.
Al Qur'an tidak memberikan khazanahnya kecuali bagi orang yang menerimanya dengan semangat ini: semangat untuk mengetahui, dan kemudian menjalankannya. Al Qur'an tidak datang untuk sekadar menjadi hiburan otak, ia bukan kitab sastra atau seni, dan bukan pula sebuah kitab kisah atau sejarah --meskipun semua itu terkandung dalam isinya-- namun ia datang agar menjadi manhaj kehidupan. Manhaj Ilahi yang murni. Allah SWT menurunkan manhaj ini secara terpisah-pisah dan berangsur-angsur. Yang datang secara beriringan:
"Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian." Al Israa: 106.
Al Qur'an tidak diturunkan sekaligus. Namun diturunkan sesuai dengan kebutuhan manusia yang terus berubah, perkembangan yang terjadi dalam pemikiran dan pola pandang, perkembangan dalam masyarakat dan kehidupan, serta sesuai dengan problem-problem praksis yang dihadapi oleh masyarakat Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Suatu ayat atau beberapa ayat dari Al Qur'an diturunkan dalam suatu momen tertentu atau suatu kejadian tertentu, yang menjadi masalah bagi manusia, untuk kemudian memberikan tuntunan bagi mereka dalam menghadapi masalah seperti itu, menggariskan bagi mereka manhaj tindakan yang harus mereka lakukan dalam keadaan seperti itu, meluruskan kesalahan sikap dan tindakan mereka, mengaitkan semua itu dengan Allah SWT, Rabb mereka, dan memperkenalkan Diri-Nya, kepada mereka, dengan sifat-sifat-Nya yang berkuasa di segenap alam. Dengan begitu, mereka merasakan bahwa mereka hidup bersama Allah SWT dan selalu berada dalam pengawasan-Nya secara langsung. Oleh karena itu, mereka segera merubah sikap dan tindakan mereka dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan manhaj Ilahi yang sempurna itu.
Manhaj mempelajari Al Qur'an untuk dilaksanakan dan diamalkan isinya itulah yang telah menghasilkan generasi pertama Islam. Sementara manhaj mempelajari Al Qur'an semata untuk mengkaji dan menikmatinya itulah yang telah menghasilkan generasi-generasi berikutnya. Tentunya, faktor kedua ini adalah juga faktor utama yang membedakan seluruh generasi Islam dibandingkan dengan generasi pertama yang istimewa itu.
* * *
Ada faktor ketiga yang patut kita perhatikan dan camkan. Seseorang, pada masa generasi pertama, jika ia masuk Islam, maka ia akan melepaskan seluruh masa lalu kejahiliahannya. Dan pada saat itu, ia merasakan bahwa ia sedang memulai suatu era baru dalam titian kehidupannya, yang terputus sama sekali dari perjalanan hidupnya yang telah ia lewati di masa jahiliah. Ia memandang segala sesuatu yang biasa ia temukan pada masa jahiliah dengan pandangan ragu, curiga, hati-hati dan takut. Karena ia merasakan bahwa segala kotoran tersebut tidak dapat diterima oleh Islam! Dengan sikap seperti itulah, mereka menerima petunjuk Islam. Jika suatu saat ia terperdaya oleh nafsunya, atau kembali melakukan kebiasaan lamanya, atau kurang sempurna dalam menjalankan kewajiban Islam, maka saat itu ia langsung merasa berdosa dan bersalah. Dan menyadari dalam dirinya bahwa ia memerlukan penyucian diri dari tindakannya itu. Untuk kemudian kembali berusaha berjalan sesuai dengan petunjuk Al Qur'an.
Ada pemutusan emosional secara total antara masa lalu kejahiliahan seorang Muslim dengan masa kini keislamannya. Hal itu tercerminkan dalam hubungannya dengan masyarakat jahiliah, dan ikatan-ikatan sosialnya. Ia telah terputus secara total dari lingkungan jahiliahnya dan bersatu secara total dengan lingkungan Islam. Meskipun ia masih tetap melakukan kontak dalam hubungan perdagangan dan keseharian. Karena pemutusan emosional adalah satu hal, sementara kontak mu'amalah sehari-hari adalah hal lain.
Mereka melepaskan kaitan mereka dari millieu jahiliah, tradisinya, pola pandangnya, kebiasaannya dan ikatan-ikatannya. Hal ini terlahir dari pemutusan ikatan dengan kemusyrikan kepada aqidah tauhid, dan dari pola pandang jahiliah kepada pola pandang Islam tentang kehidupan dan wujud. Serta dengan bergabung dengan masyarakat Islam yang baru, dengan kepemimpinan yang baru, dan memberikan seluruh loyalitasnya, keta'atannya dan keterikatannya dengan masyarakat dan kepemimpinan ini.
Inilah titik perpisahan mereka dengan masa lalu, dan awal perjalanan mereka dalam jalan yang baru, jalan yang terbebaskan dari seluruh tekanan budaya yang dianut oleh masyarakat jahiliah, dan seluruh pola pandang serta nilai-nilai yang berlaku di dalamnya. Pilihan mereka itu harus mereka tebus dengan aniaya dan fitnah yang menimpa mereka, namun mereka telah bersikap teguh dan memutuskan sama sekali ikatan mereka dengan kejahiliahan. Sehingga tekanan pola pandang jahiliah, dan adat-istiadat masyarakat jahiliah tidak mungkin lagi dapat menggoyahkan mereka.
Saat ini kita hidup dalam kejahiliahan seperti yang dialami oleh Islam pada era pertama itu, atau mungkin lebih kelam lagi. Seluruh yang ada di sekeliling kita adalah kejahiliahan. Pola pandang manusia, kepercayaan mereka, tradisi mereka, adat-istiadat mereka, sumber rujukan mereka, seni mereka, sastra mereka, hukum mereka serta undang-undang mereka. Hingga banyak yang kita sangka sebagai budaya Islam, referensi Islam, filsafat Islam, pemikiran Islam, ternyata juga merupakan produk dari kejahiliahan!
Oleh karena itulah, nilai-nilai Islam tidak dapat meresap dalam diri kita, weltanschauung Islam tidak dapat bersemayam dalam akal kita, dan kita tidak dapat menjadi genersi yang besar, dengan karakteristik seperti generasi yang dihasilkan oleh Islam pada era pertamanya.
Dengan demikian, dalam manhaj harakah Islam, kita harus membersihkan diri dalam masa pembentukan dan pengkaderan, dari seluruh pengaruh jahiliah yang kita sedang jalani ini. Kita harus kembali dari awal kepada sumber yang murni, yang dijadikan sumber oleh tokoh-tokoh generasi pertama itu. Sumber yang terjamin tidak tercermar dan tidak diragukan lagi. Kita kembali kepadanya, dan kita mengambil pola pandang kita darinya dalam melihat seluruh hakikat wujud, dan hakikat wujud manusia beserta seluruh ikatan antara dua wujud ini dengan Wujud Yang Sempurna dan Haqq; wujud Allah SWT. Dari sanalah kita mengambil pola pandang kita terhadap kehidupan, nilai-nilai, akhlak, sistem kekuasan, politik, ekonomi dan seluruh segi kehidupan kita.
Kita haru kembali kepadanya ---saat kita benar-benar kembali-- dengan sikap menerima ajaran Al Qur'an untuk dilaksanakan dan diamalkan. Bukan sekadar untuk belajar dan mencari kesenangan ruhani. Kita kembali kepadanya untuk mengetahui apa yang dituntut dari kita, dan seharusnya kita bagaimana. Dalam perjalanan itu, kita akan bertemu dengan keindahan seni dalam Al Qur'an, kisah-kisah yang agung dalam Al Qur'an, deskripsi tentang hari kiamat dalam Al Qur'an, logika emosi dalam Al Qur'an, dan seluruh hal yang dicari oleh orang yang mengkaji Al Qur'an untuk sekadar mengkaji dan mencari kesenangan. Namun kita akan menemukan hal itu dengan catatan bahwa itu bukanlah tujuan utama kita. Karena tujuan utama kita adalah untuk mengetahui: apa yang dikehendaki oleh Al Qur'an bagi kita untuk diamalkan dan diwujudkan? Apa pola pandang yang dikehendaki oleh Al Qur'an untuk kita miliki? Apa kehendak Al Qur'an tentang bagaimana seharusnya perasaan kita tehradap Allah SWT dan apa kehendak Al Qur'an tentang bagaimana seharusnya akhlak kita, kondisi kita, dan sistem praksis kehidupan kita?
Kemudian kita harus membersihkan diri kita dari tekanan masyarakat jahiliah, pola pandang jahiliah, tradisi jahiliah dan kepemimpinan jahiliah, dalam diri kita. Tugas kita bukan untuk ber co-eksistensi dengan realitas masyarakat jahiliah ini, juga bukan untuk memberikan loyalitas kita kepadanya. Karena dengan sifat seperti ini, sifat jahiliah, ia tidak boleh kita ajak berdamai. Tugas kita adalah, pertama merubah diri kita, kemudian merubah masyarakat kita.
Tugas utama kita adalah merubah realitas masayrakat kita. Dan tugas kita adalah merubah realitas jahiliah ini dari akarnya. Realitas yang bersebrangan secara diametral dengan manhaj Islami, dan pola pandang Islam, yang menghalangi kita dengan kekuatan dan tekanan untuk hidup sesuai dengan yang dikehendaki oleh manhaj Ilahi bagi kita.
Langkah pertama ddalam jalan kita ini adalah, menciptakan jarak dengan masyarakat jahiliah ini, besrta nilai-nilai dan pola pandangnya. Dan kita jangan sampai merubah nilai-nilai dan pola pandang kita sedikitpun agar bertemu dengannya di pertengahan jalan. Karena kita bersimpangan jalan dengannya, sehingga satu langkah saja kita mengikuti jalannya, niscaya kita akan kehilangan manhaj dan jalan kita!
Tentu kita akan menemukan kesulitan dan kepayahan dalam jalan ini, dan menuntut pengorbanan yang besar dari kita. Namun kita tidak memiliki pilihan lain, jika kita ingin mengikuti jalan generasi pertama Islam, yang telah Allah SWT letakkan mereka dalam manhaj Ilahi-Nya, dan telah diberikan kemenangan atas manhaj jahiliah.
Seharusnya kita selalu mengetahui sifat manhaj kita ini, sikap kita, dan sifat jalan yang harus kita lalui untuk keluar dari kejahiliahan, seperti keluarnya generasi istimewa itu.
* * *
Judul Asli: Ma'alim fi Thariq
Penulis: Sayyid Quthb
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani
Penerbit: Penerbit: Daar Syuruuq
Edisi lengkap terjemahan berbahasa Indonesia dari buku ini, yang saya selesaikan bersama al akh Yodi Indrayadi, insya Allah akan diterbitkan oleh Gema Insani Press, Jakarta.
Berinteraksi dengan Al Qur'an
Dr. Yusuf al Qaradhawi

"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya." ( Al Kahfi: 1-3)
Salawat serta salam bagi Nabi yang mu'jizatnya Al Qur'an, imamnya Al Qur'an, akhlaqnya Al Qur'an, dan penghias dadanya, cahaya hatinya juga penghilang kesedihannya adalah Al Qur'an: Nabi Muhammad bin Abdullah, dan keluarganya serta para sahabatnya, yang beriman dengannya, mendukung dan membantunya, serta mengikuti cahaya yang diturunkan kepadaanya, mereka adalah orang-orang yang beruntung, dan seluruh orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Amma ba'du:
Rabb kita telah memberikan kemuliaan kepada kita --sebagai kaum Muslimin-- dengan menganugerahkan kitab suci yang terbaik yang diturunkan kepada manusia. Rabb kita juga, telah memuliakan kita dengan mengutus nabi yang terbaik yang pernah diutus kepada manusia. Sesuai firman Allah SWT:
"Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?" (Al Anbiyaa: 10).
Kitalah, kaum muslimin, satu-satunya umat yang memeliki manuskrip langit yang paling autentik, yang mengandung firman-firman Allah SWT yang terakhir, yang diberikan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia. Dan anugerah itu terus terpelihara dari perubahan dan pemalsuan kata maupun makna. Karena Allah SWT. telah menjamin untuk memeliharanya, dan tidak dibebankan tugas itu kepada siapapun dari sekalian makhluk-Nya:
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Al Hijr: 9).
Al Qur'an adalah kitab Ilahi seratus persen: "(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu." (Huud: 1)
"Dan sesungguhnya Al Qur'an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji." ( Fush-shilat: 41-42)
Tidak ada di dunia ini, suatu kitab, baik itu kitab agama atau kitab biasa, yang terjaga dari perubahan dan pemalsuan, kecuali Al Qur'an. Tidak ada seorangpun yang dapat menambah atau mengurangi satu hurup-pun darinya.
Ayat-ayatnya dibaca, didengarkan, dihapal dan dijelaskan, sebagaimana bentuknya saat diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad Saw, dengan perantaraan ruh yang terpercaya (Jibril).
Al Quran berisikan seratus empat belas surah. Seluruhnya dimulai dengan basmalah (bismillahirrahmanirrahim). Kecuali satu surah saja, yaitu surah at Taubah. Ia tidak dimulai dengan basmalah. Dan tidak ada seorang pun yang berani untuk menambahkan basmalah ini pada surah at Taubah, baik dengan tulisan atau bacaan. Karena, dalam masalah Al Qur'an ini, tidak ada tempat bagi akal untuk campur tangan.
Perhatian kaum muslimin terhadap Al Quran sedemikian besarnya, hingga mereka juga menghitung ayat-ayatnya --bahkan kata-katanya, dan malah hurup-hurupnya--. Maka bagaimana mungkin seseorang dapat menambah atau mengurangi suatu kitab yang dihitung kata-kata dan hurup-hurupnya itu?!
Tidak ada di dunia ini suatu kitab yang dihapal oleh ribuan dan puluhan ribu orang, di dalam hati mereka, kecuali Al Qur'an ini, yang telah dimudahkan oleh Allah SWT untuk diingat dan dihapal. Maka tidak aneh jika kita menemukan banyak orang, baik itu lelaki maupun perempuan, yang menghapal Al Qur'an dalam mereka. Ia juga dihapal oleh anak-anak kecil kaum Muslimin, dan mereka tidak melewati satu hurup-pun dari Al Qur'an itu. Demikian juga dilakukan oleh banyak orang non Arab, namun mereka tidak melewati satu hurup-pun dari Al Qur'an itu. Dan salah seorang dari mereka, jika Anda tanya: "siapa namamu?" --dengan bahasa Arab-- niscaya ia tidak akan menjawab! (Karena tidak paham bahasa Arab!, penj.). Ia menghapal Kitab Suci Rabbnya semata untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, meskipun ia tidak memahami apa yang ia baca dan ia hapal, karena ia tertulis dengan bukan bahasanya.
Al Qur'an tidak semata dijaga makna-makna, kalimat-kalimat serta lafazh-lafazhnya saja, namun juga cara membaca dan makhraj hurup-hurupnya. Seperti kata mana yang harus madd (panjang), mana yang harus ghunnah (dengung), izhhar (jelas), idgham (digabungkan), ikhfa (disamarkan) dan iqlab (dibalik). Atau seperti yang digarap oleh suatu ilmu khusus yang dikenal dengan "ilmu tajwid Al Qur'an".
Hingga rasam (metode penulisan) Al Qur'an, masih tetap tertulis dan tercetak hingga saat ini, seperti tertulis pada era khalifah Utsman bin Affan r.a., meskipun metode dan kaidah penulisan telah berkembang jauh. Hingga saat ini, tidak ada suatu pemerintah muslim atau suatu organisasi ilmiah pun, yang berani merubah metode penulisan Al Qur'an itu, dan menerapkan kaidah-kaidah penulisan yang berlaku bagi seluruh buku, media cetak, koran dan lainnya yang ditulis dan dicetak, bagi Al Qur'an.
Allah SWT menurunkan Al Qur'an untuk memberikan kepada manusia tujuan yang paling mulia, dan jalan yang paling lurus.
"Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus." (Al Israa: 9)
"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." ( Al Maaidah: 15-16)
Al Qur'an adalah "cahaya" yang dianugerahkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, di samping cahaya fithrah dan akal:
"Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)." (An Nuur: 35). Dan Al Qur'an mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai cahaya, dalam banyak ayat.
Seperti dalam firman Allah SWT:
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu'jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an)." (An Nisaa: 174)
"Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al Qur'an) yang telah Kami turunkan." (At Taghaabun: 8).
Dan berfirman kepada para sahabat Rasulullah Saw dengan firman-Nya:
"Dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an)." (Al A'raaf: 157)
Di antara karakteristik cahaya adalah: Dirinya sendiri telah jelas, kemudian ia memperjelas yang lain. Ia membuka hal-hal yang samar, menjelaskan hakikat-hakikat, membongkar kebatilan-kebatilan, menolak syubhat (kesamaran), menunjukkan jalan bagi orang-orang yang sedang kebingungan saat mereka gamang dalam menapaki jalan atau tidak memiliki petunjuk jalan, serta menambah jelas dan menambah petunjuk bagi orang yang telah mendapatkan petunjuk. Dan jika Al Qur'an mendeskripsikan dirinya sebagai "cahaya", dan dia adalah "cahaya yang istimewa", ia juga mendeskripsikan Taurat dengan kata yang lain:
"Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)."
Seperti dalam firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)". (Al Maaidah: 44)
Demikian juga mendeskripsikan Injil seperti itu, seperti dalam firman Allah SWT tentang Nabi 'Isa:
"Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) ." (Al Maidah: 46)
Perbedaan dalam dua pengungkapan itu menunjukkan perbedaan antara Al Qur'an dengan kitab-kitab suci lainnya. Seperti diungkapkan oleh Al Bushiry dalam Lamiah-nya:
"Maha Besar Allah, sesungguhnya agama Muhammad Dan kitab sucinya adalah kitab suci yang paling lurus dan paling teguh Jangan sebut kitab-kitab suci lainnya di depannya Karena, saat mentari pagi telah bersinar, ia akan memadamkan pelita-pelita".
Hal itu karena Al Qur'an ini datang untuk membenarkan kitab-kitab suci yang telah turun sebelumnya. Yaitu yang berkaitan dengan pokok-pokok aqidah dan akhlak, sebelum kitab-kitab itu dipalsukan dan diubah tangan manusia. Al Qur'an juga mengungguli kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dengan mengoreksi dan meluruskan tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan yang telah disisipkan oleh manusia dalam kitab-kitab itu. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu." (Al Maaidah: 48)
Al Qur'an --sebagaimana ia diturunkan oleh Allah SWT-- mempunyai keunggulan-keunggulan yang membuatnya istimewa dibanding kitab suci lainnya. Ia adalah kitab Ilahi, kitab suci yang menjadi mukjizat, kitab yang memberikan penjelasan dan dimudahkan untuk dipahami, kitab suci yang dijamin pemeliharaan keautentikannya, kitab suci bagi agama seluruhnya, kitab bagi seluruh zaman, dan kitab suci bagi seluruh manusia.
Al Qur'an juga mempunyai maksud dan tujuan yang dibidiknya, di antaranya: meluruskan kepercayaan-kepercayaan dan pola pandang manusia tentang Tuhan, kenabian, dan balasan atas amal perbuatan, serta meluruskan pola pandangan tentang manusia, kemuliaannya dan menjaga hak-haknya, terutama bagi kalangan yang lemah dan tidak berpunya.
Ia juga bertujuan untuk menghubungkan manusia dengan Rabbnya, agar manusia hanya menyembah-Nya semata dan bertaqwa kepada-Nya dalam seluruh urusannya.
Al Qur'an juga bertujuan untuk membersihakan jiwa manusia, yang jika jiwa itu telah bersih niscaya bersih dan baiklah seluruh masyarakat. Dan jika jiwa itu rusak, niscaya rusaklah masyarakat seluruhnya.
Ia juga berusaha membentuk keluarga yang kemudian menjadi pangkal kedirian suatu masyarakat. Juga mengajarkan sikap adil terhadap kalangan perempuan, yang merupakan pokok utama dalam bangunan keluarga.
Al Qur'an juga membangun umat yang saleh, yang dianugerahkan amanah untuk menjadi saksi bagi manusia, yang diciptakan untuk memberikan manfaat bagi manusia dan memberikan petunjuk bagi mereka.
Setelah itu, mengajak untuk menciptakan dunia manusia yang saling kenal mengenal dan tidak saling mengisolasi diri, saling memberi maaf dan tidak saling membenci secara fanatik, serta untuk bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan, bukan dalam kejahatan dan permusuhan.
Kita berkewajiban untuk memperlakukan Al Qur'an ini secara baik: dengan menghapal dan mengingatnya, membaca dan mendengarkannya, serta mentadabburi dan merenungkannya.
Kita juga berkewajiban untuk berlaku baik terhadapnya dengan memahami dan menafsirkannya. Tidak ada yang lebih baik dari usaha kita untuk mengetahui kehendak Allah SWT terhadap kita. Dan Allah SWT menurunkan kitab-Nya agar kita mentadabburinya, memahami rahasia-rahasianya, serta mengeksplorasi mutiara-mutiara terpendamnya. Dan setiap orang berusaha sesuai dengan kadar kemampuannya.
Namun yang disayangkan, dalam bidang ini telah terjadi kerancuan yang berbahaya, yaitu dalam memahami dan menafsirkan Al Qur'an. Oleh karena itu harus dibuat rambu-rambu dan petunjuk yang mampu menjaga dari kekeliruan dalam usaha ini, serta perlu diberikan peringatan tentang ranjau-ranjau yang menghadang di jalan, yang dapat berakibat patal jika dilanggar.
Tidak selayaknya umat Al Qur'an mengalami hal yang sama yang pernah terjadi dengan umat Taurat, yang diungkapkan oleh Al Qur'an dalam firman-Nya:
"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal." (Al Jumu'ah: 5).
Kita juga harus berlaku baik terhadap Al Qur'an dengan mengikuti petunjuknya, mengerjakan ajarannya, menghukum dengan syari'atnya serta mengajak manusia mengikuti petunjuknya. Ia adalah manhaj bagi kehidupan individu, undang-undang bagi aturan politik, serta petunjuk dalam berdakwah kepada Allah SWT.
Inilah yang berusaha dilakukan buku ini dalam empat bab utamanya, dengan bertumpu --terutama-- pada Al Qur'an itu sendiri, karena ia adalah objek kita, namun ia juga petunjuk itu.
Umat kita pada abad-abad pertama --yang merupakan abad-abad yang paling utama-- telah berinteraksi dengan baik terhadap Al Qur'an. Mereka berlaku baik dalam memahaminya, mengetahui tujuan-tujuannya, berlaku baik dalam mengimplementasikannya secara massive dalam kehidupan mereka, dalam bidang-bidang kehidupan yang beragam, serta berlaku baik pula dalam mendakwahkannya. Contoh terbaik hal itu adalah para sahabat. Kehidupan mereka telah diubah oleh Al Quran dengan amat drastis dan revolusioner. Al Qur'an telah merubah mereka dari perilaku-perilaku jahiliyah menuju kesucian Islam, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ke dalam cahaya. Kemudian mereka diikuti oleh murid-murid mereka dengan baik, untuk selanjutnya murid-murid generasi berikutnya mengikuti murid-murid para sahabat itu dengan baik pula. Melalui mereka itulah Allah SWT memberikan petunjuk kepada manusia, membebaskan negeri-negeri, memberikan kedudukan bagi mereka di atas bumi, sehingga mereka kemudian mendirikan negara yang adil dan baik, serta peradaban ilmu dan iman.
Kemudian datang generasi-generasi berikutnya, yang menjadikan Al Qur'an terlupakan, mereka menghapal hurup-hurupnya, namun tidak memperhatikan ajaran-ajarannya. Mereka tidak mampu berinteraksi secara benar dengannya, tidak memprioritaskan apa yang menjadi prioritas Al Qur'an, tidak menganggap besar apa yang dinilai besar oleh Al Qur'an serta tidak menganggap kecil apa yang dinilai kecil oleh Al Qur'an. Di antara merek ada yang beriman dengan sebagiannya, namun kafir dengan sebagiannya lagi, seperti yang dilakukan oleh Bani Israel sebelum mereka terhadap kitab suci mereka. Mereka tidak mampu berinteraksi secara baik dengan Al Qur'an, seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Meskipun mereka mengambil berkah dengan membawanya serta menghias dinding-dinding rumah mereka dengan ayat-ayat Al Qur'an, namun mereka lupa bahwa keberkahan itu terdapat dalam mengikut dan menjalankan hukum-hukumnya. Seperti difirmankan oleh Allah SWT:
"Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat." (Al An'aam: 155)
Tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dari kelemahan, ketertinggalan dan keterpecah-belahan mereka selain dari kembali kepada Al Qur'an ini. Dengan menjadikannya sebagai panutan dan imam yang diikuti. Dan cukuplah Al Qur'an sebagai petunjuk:
"Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?." (An Nisaa: 122)
________________________________________
Berinteraksi dengan Al Qur'an
Penulis: Dr. Yusuf al Qaradhawi
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani dan M. Yusuf Wijaya
Penerbit: Gema Insani Press
Tahun Terbit: Jakarta, 1999

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan isi Pesan-Kesan:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com adam maulana 2009